Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memutuskan menjaga suku bunga acuan di level 5,75%. Diperkirakan level tersebut akan terus dipertahankan hingga akhir tahun, mengingat ketidakpastian dari global maupun domestik.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan, keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% pada Maret 2025 mencerminkan pendekatan hati-hati dalam menghadapi ketidakpastian.
Dengan tetap menjaga suku bunga di level yang relatif tinggi, BI berharap dapat terus menarik investor agar aset Indonesia tetap menarik, sekaligus mengendalikan ekspektasi inflasi dan menstabilkan nilai tukar rupiah.
Di sisi lain, BI juga berkomitmen untuk melakukan ekspansi likuiditas domestik melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, yang hingga saat ini sudah mencapai Rp 70,7 triliun sepanjang tahun 2025. Langkah ini dimaksudkan untuk menjaga likuiditas di pasar, sekaligus mendukung perekonomian nasional di tengah gejolak pasar.
Baca Juga: Suku Bunga Acuan BI Tetap di Level 5,75%, Ada Potensi Penurunan 0,25% di Akhir 2025
Namun, dalam situasi pasar yang volatil seperti sekarang, langkah ekspansi likuiditas ini juga mengandung risiko.
"Karena dapat meningkatkan ekspektasi inflasi atau memperbesar tekanan pelemahan pada rupiah apabila pelaku pasar khawatir terhadap potensi meningkatnya suplai uang," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (19/3).
Selain itu, BI mengoptimalkan instrumen Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) bertujuan menarik aliran dana asing guna memperkuat stabilitas rupiah. Hal ini tercermin pada kepemilikan asing pada SRBI telah meningkat menjadi Rp 232,4 triliun atau sekitar 26,1% dari total instrumen tersebut.
Meski demikian, Josua berpandangan bahwa penggunaan SRBI secara bersamaan dengan pembelian SBN oleh BI berpotensi menimbulkan efek crowding out. SRBI dan SBN bisa bersaing untuk menarik minat investor domestik maupun asing.
"Akibatnya, jika persepsi risiko terus meningkat hal ini dapat menekan permintaan terhadap SBN, berpotensi menyebabkan kenaikan yield obligasi pemerintah di masa depan dan membatasi ruang fiskal pemerintah," paparnya.
Oleh sebab itu, ia menilai penting bagi BI untuk secara hati-hati menyeimbangkan langkah-langkah kebijakan tersebut. Hal itu guna memastikan stabilitas nilai tukar rupiah, menjaga kepercayaan pasar, serta mencegah dampak negatif dari intervensi likuiditas yang berlebihan terhadap perekonomian domestik.
Josua memperkirakan, penurunan BI-rate lebih lanjut akan sangat bergantung pada perkembangan data ekonomi global dan domestik. Namun, mengingat risiko yang masih ada dari perang dagang dan perang mata uang, ia memproyeksikan BI-rate akan tetap di level 5,75% hingga akhir tahun.
Baca Juga: Bank Indonesia Kembali Tahan Suku Bunga BI Rate di Level 5,75% pada Maret 2025
Meskipun saat ini pasar memperkirakan The Fed akan memangkas FFR sebesar 50bps di tahun 2025, meningkatnya risiko perang dagang dan perang mata uang dapat terus menjadi tantangan bagi stabilitas Rupiah, sehingga membatasi ruang penurunan BI-rate.
Dari sisi domestik, defisit transaksi berjalan (CAD) yang melebar juga menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas. Utamanya, dengan adanya agenda pro-pertumbuhan dari pemerintah yang diperkirakan akan mendorong impor yang lebih tinggi.
"Selain itu, perang dagang yang meningkat dapat melemahkan ekspor, sehingga membatasi fleksibilitas BI untuk menurunkan suku bunga," tutup Josua.
Selanjutnya: IHSG Menguat 1,11% ke 6.381 pada Kamis (20/3), AMMN, KLBF, SIDO Jadi Top Gainers LQ45
Menarik Dibaca: Promo OYO Beri Diskon hingga 75% untuk Pemesanan Selama Libur Lebaran
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News