kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.927.000   10.000   0,52%
  • USD/IDR 16.295   -56,00   -0,34%
  • IDX 7.312   24,89   0,34%
  • KOMPAS100 1.036   -2,36   -0,23%
  • LQ45 785   -2,50   -0,32%
  • ISSI 243   1,24   0,51%
  • IDX30 407   -0,78   -0,19%
  • IDXHIDIV20 465   -1,41   -0,30%
  • IDX80 117   -0,14   -0,12%
  • IDXV30 118   -0,08   -0,07%
  • IDXQ30 129   -0,58   -0,45%

BI antisipasi tingginya ketergantungan dollar AS


Jumat, 11 Desember 2015 / 07:11 WIB
BI antisipasi tingginya ketergantungan dollar AS


Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap pendanaan asing menjadi perhatian Bank Indonesia (BI) dalam menentukan kebijakan moneter ke depan. Tak pelak, keputusan kenaikan suku bunga acuan The Fed menjadi sumber perhatian utama bank sentral Indonesia.

Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI mengatakan, ketergantungan yang besar terhadap investor asing menimbulkan risiko. Terutama risiko terhadap stabilitas nilai tukar yang kemudian akan berimbas terhadap kondisi makro ekonomi Indonesia.

Secara detail ia menjelaskan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia saat ini ditutup oleh utang luar negeri (ULN). Baik dalam bentuk penerbitan surat berharga negara (SBN) maupun pinjaman.

Kendati SBN diterbitkan dalam bentuk rupiah, namun kepemilikan asing masih dominan, yakni mencapai 37%. Kebijakan The Fed tentu akan mempengaruhi keputusan investasi para pemodal asing ini.

Selanjutnya, kebutuhan pendanaan korporasi. Sumber pendanaan di dalam negeri terbilang masih terbatas. Sehingga, banyak korporasi yang mencari pinjaman ke kreditur global. Mirza mencatat, saat ini pinjaman off-shore korporasi Indonesia mencapai US$ 169 miliar.

Kepercayaan kreditur luar negeri sangat tergantung dari dampak kebijakan moneter global, terutama The Fed, terhadap korporasi Indonesia. Kreditur global ini tentu memilah mana korporasi yang sehat dan yang tidak.

Kemudian, peran asing di pasar modal serta kepemilikannya di saham sejumlah emiten dalam negeri pun masih tinggi. Sehingga, nasib harga saham emiten-emiten ini akan sangat tergantung dari keputusan investasi para pemodal asing.

Dengan demikian, kebijakan The Fed masih menjadi isu yang mendominasi atas keputusan BI dalam menjaga stabilitas moneter ke depan. Selama masih ada ketidakpastian, maka investor akan cenderung memegang dollar AS.

Sehingga, mata uang negeri Paman Sam ini menguat terhadap seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah. "Yang bisa kami lakukan adalah membuat kebijakan yang prudent dengan segala risiko yang ada," ujarnya, Kamis (10/12).

Kebijakan yang dimaksud adalah menjaga laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi. BI mengestimasi, tahun depan pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di batas bawah target yang berkisar 5,2%-5,6%.

Target itu dinilai realistis seiring terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi. Hal ini menyusul adanya kepastian dari keputusan kenaikan suku bunga The Fed yang berimbas pada pergerakan kurs yang lebih stabil."Dengan begitu importir bisa ekspansi," tutur Mirza.

Tetapi, kalau kurs masih tergoncang, para pengusaha akan cenderung menunggu dan menghentikan belanjanya. Oleh karena itu, BI akan berupaya menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan agar ekspansi korporasi bisa lebih bergairah.

Inflasi pun diperkirakan akan ada di kisaran 4% plus minus 1% pada 2016 mendatang. Adapun, tahun ini diperkirakan inflasi ada di bawah 3%. Selain The Fed, perlambatan ekonomi China juga menjadi perhatian berikutnya bagi BI.

Tahun depan, estimasi pertumbuhan negeri China ini turun menjadi sekitar 6,3% dari 6,8% di 2015. Ini artinya, ekspor komoditas yang menjadi andalan Indonesia pun akan mengerut. Belum lagi harga komoditas tahun depan diperkirakan belum akan menunjukkan perbaikan.

Hal ini akan berimbas pada melebarnya defisit neraca berjalan (CAD). Pasalnya, belanja infrastruktur pemerintah diperkirakan mulai tinggi tahun depan. Sehingga, impor bahan baku dan barang modal diperkirakan ikut meningkat.

Di saat yang sama, laju pertumbuhan ekspor diperkirakan masih jauh di bawah pertumbuhan impor. BI memperkirakan, CAD tahun 2016 nanti mencapai 2,6%-2,7% dari produk domestik bruto (PDB). Tahun ini, CAD ditaksir ada dikisaran 2% dari PDB.

Berhubung CAD negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina mencatatkan surplus, maka, kata Mirza, pihaknya akan lebih berhati-hati untuk membuat keputusan.

"Risikonya, dana asing keluar, padahal kita masih mengandalkan pendanaan asing," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×