Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
Mengingatkan, sengketa saham milik Aryaputra sendiri berawal ketika induk perusahaannya, PT Ongko Multicorpora mendapatkan fasilitas kredit dari BFI Finance. 111.804.732 saham Aryaputra, dan 98.388.180 saham milik Ongko jadi jaminan atas fasilitas tersebut.
Kesepakatan tersebut dilakukan pada 1 Juni 1999, dan akan berakhir pada 1 Desember 2000. Dalam salah satu klausul perjanjiannya, jika Ongko tak melunasi tagihannya, maka BFI berhak melego saham-saham tersebut.
Sayangnya hal itu benar terjadi pada 7 Desember 2000. Ketika BFI Finance terjerat proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 210.192.912 total saham dibeli oleh Law Debenture Trust Corporation, perusahaan offshore trustee dari Inggris.
Hal tersebut yang kemudian ditolak Aryaputra, lantaran merasa pengalihan saham tersebut dilakukan tanpa persetujuan Aryaputra. Nah peralihan saham ini yang kemudian disahkan oleh Kemkumham, dan jadi objek sengketa perkara ini.
Perkara peralihan saham ini juga sebenarnya telah diputus Hinga tingkat Peninjauan Kembali (PK). Aryaputra melalui putusan 240 PK/PDT/2006 tanggal 20 Februari 2007 diputus miliki saham-saham BFI miliknya kembali.
"Putusan PK tersebut cacat hukum, karena tidak bisa dieksekusi, ada tujuh ketua Pengadilan Negeri yang menetapkan putusan tersebut non executable," lanjutnya.
Kuasa hukum Aryaputra Ramos Sidjabat dari kantor hukum HHR Lawyer membantah hal ini. Ia justru bilang bahwa penetapan PTUN tadi menguatkan putusan PK tersebut.
"Majelis Hakim sudah mempertimbangkan klaim sepihak BFI mengenai non-executable, dan jelas-jelas argumentasi BFI tersebut di atas telah ditolak karena tidak sesuai dengan hukum," katanya saat dihubungi Kontan.co.id.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News