Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memperkirakan, pertumbuhan penerimaan pajak pada 2023 tidak akan setinggi tahun ini. Hal ini sejalan dengan perkiraan harga komoditas yang kembali normal.
Menurutnya, kontribusi penerimaan saat ini memang cukup terbantu dari meningkatnya harga komoditas. Akan tetapi, agar tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas, pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan lainnya termasuk dari pajak.
Misalnya saja, penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) badan yang diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan semakin pulihnya aktivitas masyarakat.
“Kalau kita lihat regulasi, atas ekspor kena tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 0% jadi booming ekspor sebenarnya tak membantu penerimaan PPN secara langsung. Tapi (yang membantu) penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) badan karena profitabilitas korporasi naik,” jelas Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu (5/6).
Baca Juga: Commodity Boom Segera Berakhir, Ini Upaya Kemenkeu Jaga Penerimaan Negara
Selain itu, menurutnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri juga bisa diandalkan sebagai tumpuan penerimaan negara.
Kemudian, Fajry juga menyarankan agar Pemerintah mengoptimalkan penerimaan PPh orang pribadi pasca adanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau program Tax Amnesty Jilid II, sehingga bisa mendorong penerimaan pada tahun depan.
Caranya, pemerintah bisa menggunakan data Automatic Exchange Of Information (AEOI) bagi mereka yang belum mengikuti program PPS. Sebab harta yang dilaporkan dalam program PPS tidak bisa dijadikan temuan.
Dihubungi secara terpisah, Pengamat Pajak DDTC Bawono Kristiaji juga sepakat, pemerintah bisa mengoptimalkan penerimaan dari PPh, sejalan dengan mulai pulihnya ekonomi yang berjalan secara konsisten.
Selain itu, perluasan basis pajak dan kenaikan tarif pajak juga diperkirakan akan membuat pos PPN sebagai sektor yang bisa dijadikan andalan penerimaan pada tahun depan.
Lebih lanjut, Bawono juga melihat tahun depan, pemerintah telah memiliki modal kuat khususnya dengan berbagai reformasi baik itu kebijakan, regulasi, dan administrasi, yang sudah dilakukan selama ini.
Baca Juga: Sanksi Menunggu Wajib Pajak yang Masih Sembunyikan Harta
Misalnya saja dengan adanya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), core tax system, strategi compliance risk management, dan juga pembenahan proses bisnis Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
“Khusus untuk tahun depan, agenda penegakan hukum pasca PPS, optimalisasi pajak dari sektor digital, serta kepatuhan pajak kelompok high wealth individuals bisa jadi pilihan,” jelasnya.
Untuk itu, menurutnya, dengan atau tidak adanya boom commodity pemerintah harus tetap mempersiapkan reformasi perpajakan, baik itu target, strategi, dan agenda reformasi pajak yang berjalan secara konsisten.
Sehingga, ke depannya penerimaan Pemerintah tidak lagi bergantung pada berkah harga komoditas yang meningkat.
“Artinya, berkah komoditas hendaknya tidak menimbulkan ketergantungan bagi penerimaan karena bersifat volatile,” imbuh Bawono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News