Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan pajak nampaknya semakin tak bergairah. Setelah penerimaan pajak di bulan pertama di awal tahun ini yang tumbuh melambat, sampai dengan awal Oktober setoran pajak dikabarkan lagi-lagi menciut.
Berdasarkan keterangan pihak yang mengaku mengetahui soal ini tapi enggan namanya dituliskan mengatakan, realisasi penerimaan pajak sampai dengan 7 Oktober 2019 sebesar Rp 912 triliun.
Baca Juga: Potensi shortfall pajak melebar lebih Rp 200 triliun hingga akhir tahun
Angka tersebut hanya bertambah sekitar Rp 110 triliun dari realisasi Januari-Agustus 2019 senilai Rp 801,16 triliun. Bahkan pencapaian sampai awal Oktober ini baru mencapai 57,81% dari target penerimaan pajak sampai akhir tahun 2019 sebesar Rp 1.577,56 triliun.
Sehingga penerimaan pajak secara year on year (yoy) terkikis atau minus 0,31%. Ia memprediksi sampai dengan akhir 2019 penerimaan pajak hanya mencapai 85%-87% dari target. Sehingga shortfall pajak lebih dari Rp 200 triliun atau di atas proyeksi pemerintah di level Rp 140 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai wajar bila penerimaan pajak tertekan. Sebab, sepanjang tahun ini situasi perekonomian Indonesia kurang bergairah seiring dengan kondisi global. Sehingga kinerja korporasi tidak sebaik tahun lalu, efek dominonya penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan masih melandai.
Sudah jatuh tertimpa tangga, inilah yang menggambarkan situasi ekonomi dalam negeri. Pasalnya, setelah diterpa perlambatan ekonomi global, gejolak politik yang belum juga sirna ditambah kepastian hukum membuat investor enggan menanam investasi di Indonesia.
Baca Juga: Ini penyebab insentif belum berhasil tingkatkan penerimaan pajak
Setali tiga uang, menurut Yustinus hal tersebut membuat penerimaan pajak tidak kuasa melemah mengikuti tren.
Di sisi lain, pemberian insentif fiskal oleh pemerintah dianggap tidak sebanding dengan sumber-sumber penerimaan pajak baru. Sejumlah insentif mulai dari super deduction tax, tax allowance, hingga tax holiday dengan ramah pemerintah berikan kepada dunia usaha.
“Sementara kecepatan memberi insentif lebih tinggi ketimbang mengambil revenue,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id, Senin (7/10).
Sementara itu, Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Boko menilai kondisi ekonomi global janganlah menjadi kambing hitam. Target penerimaan pajak tidak hanya terhadap korporasi berorientasi ekspor-impor, melainkan pasar dalam negeri.
Baca Juga: Ini calon kuat Dirjen Pajak baru, pengganti Robert Pakpahan yang akan segera lengser
Potensi penerimaan pajak dalam negeri yang berasal dari kinerja perusahaan dengan market share dalam negeri dianggapnya menjadi salah satu taget Wajib Pajak (WP) potensial. Namun, Ronny melihat pemerintah dalam hal ini belum bisa mengejar target dengan tepat.
Di sisa waktu sekitar dua setengah bulan ke depan, Yustinus berharap pemerintah dapat menggenjot penerimaan pajak dengan menjalankan ekstra effort dalam optimalisasi administrasi perpajakan.
Ronny menambahkan, dalam waktu depan posisi Direktur Jenderal Pajak akan digantikan. Menurutnya, orang yang mengisi kursi tersebut harus berasa dari internal DJP.
“Kalau orang lama internal pajak tau seluk-beluknya, di sisa tiga bulan langsung tancep gas,” kata Ronny kepada Kontan.co.id, Senin (7/10).
Baca Juga: Kata Dirjen Pajak soal perbaikan administrasi perpajakan
Namun demikian baik Yustinus maupun Ronny tidak memungkiri dengan tren saat ini, penerimaan pajak diramal tidak mencapai target akhir 2019. Proyeksi Ronny penerimaan pajak sampai akhir tahun mencapai 80% dari target atau sekitar Rp 1.262,04 triliun.
Sementara itu, CITA memprediksi penerimaan pajak hanya mampu mencapai 85,66%-88,7% dari target atau setara Rp 1.351,18-Rp 1.399,17 triliun dengan potensi shortfall mencapai Rp 161,7 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News