kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Beleid ini dituding picu kasus kebakaran hutan


Senin, 14 September 2015 / 20:35 WIB
Beleid ini dituding picu kasus kebakaran hutan


Sumber: Antara | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) menilai sedikitnya ada dua peraturan pemerintah yang kurang efektif dan justru memicu kasus kebakaran lahan.

Sekjen Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Suwardi di Jakarta, Senin (14/9) mengatakan, peraturan dimaksud yakni Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 yang membolehkan masyarakat membakar lahan dengan luas maksimal 2 hektare (ha) dan UU Kehutanan yang melarang penggunaan kayu hasil pembukaan lahan.

Dengan adanya UU 32/2009, tambahnya, warga diperbolehkan membakar lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare untuk memudahkan pembukaan lahan dengan cara dibakar.

Dampaknya, kebakaran kecil di lahan warga dengan mudah menjalar ke lahan lain tanpa bisa dipadamkan.

"Ini kan keliru, peraturan ini yang menjadi salah satu faktor pemicu utama kebakaran lahan saat ini. Kedua aturan tersebut harus direvisi agar pencegahan kebakaran hutan menjadi efektif dan tidak terulang lagi di kemudian hari," katanya.

Selain itu, Suwardi menilai aturan pelarangan penggunaan kayu hasil pembukaan lahan dalam UU kehutanan juga ikut memicu kebakaran lahan, karena warga dengan peralatan yang minim akan dengan gampang membakar kayu-kayu hasil penebangan dalam rangka pembukaan lahan.

"Daripada harus menyewa alat berat, kayu hasil penebangan dibakar saja oleh warga, karena toh tidak bisa digunakan. Kalau dimanfaatkan bisa terkena aturan ilegal logging. Ini yang harus diubah," ucapnya.

Suwardi mendesak pemerintah segera merevisi dua aturan tersebut untuk mencegah kasus kebakaran lahan terulang lagi dan dirasakan dampaknya sampai ke negara tetangga.

Pemerintah sudah semestinya mencari akar permasalahan agar bisa dibenahi, bukan hanya mencari pelakunya.

"Banyak tudingan menyatakan kebakaran lahan dilakukan oleh industri perkebunan. Itu tudingan miring karena sebelum industri perkebunan berkembang, kasus kebakaran lahan sudah terjadi terutama pada kemarau panjang sejak 1970-an," paparnya.

Kerahkan kekuatan Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, menilai semua pihak tidak perlu panik menghadapi kasus kebakaran hutan, sebaliknya baik pemerintah maupun swasta harus mengerahkan semua kekuatan.

"Pertama, semua pihak tidak perlu panik, kita harus mengerahkan semua kekuatan untuk memadamkan kebakaran lahan," ujarnya.

Kedua, lanjut dia, semua pihak harus bijak dalam menerjemahkan instruksi Presiden dalam penegakan hukum. Aparat penegak hukum jangan hanya asal mencari target pelaku di lapangan. "Banyak perusahaan yang jadi korban justru menjadi terdakwa," paparnya.

Ketiga, menurut Joko, perusahaan tidak mungkin asal membakar lahan karena sudah ada prosedur yang diatur pemerintah, selain itu, faktor penyebab kebakaran juga banyak dan multidimensi seperti faktor kemarau panjang, tidak hanya mengarah pada perkebunan sawit.

"Bagaimana dengan kebakaran di Taman Nasional Sebangau Jambi, siapa yang harus ditangkap," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) Nana Suparna menyatakan meskipun dalam peraturan diperbolehkan untuk membakar lahan, walaupun maksimal hanya 2 ha, persoalannya, apabila dalam satu wilayah ada 100 warga, maka sangat dimungkinkan area yang terbakar ada 100 titik.

Apalagi, tambahnya, makin banyak warga pendatang yang masuk ke daerah pedalaman untuk membuka lahan, baik untuk perkebunan maupun budidaya tanaman pangan.

"Kalau mereka membakar lahan, siapa yang bisa jamin sekat bakarnya berfungsi dengan baik? Kan di pedalaman tidak ada petugas yang mengawasi," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×