Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia telah mengambil langkah dalam menghentikan laju deforestasi sebagai cara untuk mengatasi perubahan iklim. Tahapannya dilakukan melalui pelembagaan moratorium pembukaan hutan primer, restorasi fungsi ekosistem hutan, serta pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
Peran masyarakat dalam mengatasi deforestasi termasuk hal penting yang diserap dalam kerangka kebijakan tata kelola kehutanan Indonesia. Program perhutanan sosial salah satunya. Via partisipasi, pemerintah daerah, sektor swasta, CSO, serta masyarakat adat memperkuat implementasi dalam pengelolaan hutan secara lestari. Salah satu format pengelolaan hutan yang mengedepankan aspek keadilan sosial di dalamnya.
Dalam NDC, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% secara mandiri, atau 41% dengan bantuan internasional, pada tahun 2030. Sektor kehutanan dan pengunaan lahan lainnya (FOLU) diyakini akan berkontribusi hingga 60% dari total target penurunan emisi yang tinggi direngkuh Indonesia.
Deputi I Kantor Staf Presiden, Febry Calvin Tetelepta dalam Pembukaan Webinar yang bertajuk “DEFORESTASI DAN KOMITMEN PERUBAHAN IKLIM INDONESIA MENUJU COP-26” yang diselenggarakan oleh Jokowi Centre mengatakan bahwa, laju deforestasi Indonesia turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir dan diikuti dengan persentase kejadian kebakaran hutan turun 82% pada 2020.
Baca Juga: Percepat rehabilitasi mangrove, BRGM gelar sekolah lapang di Bangka Belitung
Dalam sambutan pembukanya, Febry menjelaskan kalau keberhasilan pengelolaan iklim di Indonesia dapat dicapai karena Indonesia menempatkan aksi iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan dimana aspek lingkungan tetap diperhatikan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi.
Komitmen Indonesia mewarnai diskursus global, tatkala banyak negara yang bergegas melakukan reformasi pengelolaan hutannya. Namun deforestasi netto baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia masih terjadi. Komitmen baik Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim perlu ditingkatkan lagi.
Pasalnya pada periode tahun 2019 – 2020 deforestasi terjadi sebanyak 115,46 ribu ha (KLHK, 2021). Bila dibiarkan tanpa intervensi dan pengawasan ketat, misi melakukan penyerapan karbon netto di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU) akan jauh panggang dari api.
Senada dengan itu, Sesditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Hanif Faiso Nurofiq mengutarakan bahwa upaya pemerintah dalam menurunkan karbon dilakukan dalam 2 skenario dimana sektor kehutanan diharapkan dapat berkontribusi sebesar 17.20% dengan usaha sendiri 24.10% dengan bantuan internasional. Upaya yang dilakukan salah satunya dengan cara mengurangi emisi dari deforestasi dan lahan gambut.
Deforestasi yang menunjukkan tren penurunan ternyata masih dipertanyakan publik. Program food estate yang dilancarkan pemerintah membawa dampak ekologis. Program itu sukses melancarkan deforestasi di tanah Papua, ujar Maryo Econusa.
Baca Juga: Begini langkah Kementerian PUPR dorong pengurangan emisi gas rumah kaca
Dibalik program pemerintah yang tengah bergulir, nyatanya tumpang tindih hak penggunaan lahan yang dekat dengan kawasan hutan masih saja belum dapat dituntaskan. Fenomena ini jadi ancaman karena masyarakat sekitar kawasan mengantungkan kehidupannya dengan keadaan hutan yang lestari.
Seperti yang terjadi di hutan Teringkang, Desa Gunam, Kalimantan Barat, banyak sumberdaya yang ada di dalam hutan yang akan hilang bila hutan tidak dijaga, sehingga sumberdaya penting yang dimiliki masyarakat dan sangat pantas untuk diperjuangkan dan dipertahankan” tegas Tirza, analis Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).
Partisipasi masyrakat juga menjadi kunci dalam perencanaan perlindungan area hutan yang mengelaborasi pandangan masyarakat dalam menentukan kawasan – kawasan penting di dalam hutan. Termasuk petani sawit yang turut membantu penyelamatan hutan Indonesia, papar Tirza.
Hariadi Kartodiharjo dalam paparannya mengatakan persoalan tata kelola kehutanan sangat rumit dan sangat dekat sekali dengan korupsi institusional. Tumpang tindih status kawasan masih jadi masalah dalam tata kelola kehutanan. “Ini bukan persoalan perorangan tetapi sistem yang bekerja terjadi secara sistematis sehingga disebut dengan korupsi institusional”, jelas Guru Besar Fakultas Kehutan IPB University tersebut.
Ia juga menekankan bahwa upaya pemerintah untuk mewujudkan keadilan pemanfaatan SDA/Hutan masih terbentur dengan persoalan institusi, sehingga peran masyarakat sipil perlu terus diperkuat dalam mengimbangi dan mengontrol pelaksanaan good governace yang baik di sektor kehutanan.
Dalam sesi terakhir, Sekjend Jokowi Centre, Imanta Ginting mengungkapkan bahwa komitmen pemerintah dalam pengarustutaman perubahan iklim sangat jelas dan terukur. Ditambah dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam CEOs Forum di Glasgow. Presiden menyampaikan bahwa Indonesia telah mengadopsi Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050, serta roadmap yang detail untuk mencapai target net zero emission pada 2060.
Langkah konkret tersebut membuat Indonesia dipandang serius oleh negara – negara lain dalam pengarustamaan perubahan iklim. "Untuk itu integrasi peran antara pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, dan akademisi menjadi kunci dalam mengejar target tersebut," tegas Imanta.
Selanjutnya: Pemerintah klaim carbon pricing dan pajak karbon bisa tingkatkan investasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News