Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/2018 yang mengatur soal kemudahan fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday). Aturan ini sudah berlaku terhitung tanggal 4 April 2018.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara mengatakan, beberapa hari aturan ini berjalan, pihaknya melakukan evaluasi. Sebab, pemerintah telah menerima masukan dari beberapa pihak.
“Kami sudah mulai terima input dari Kadin, Apindo. Dari wartawan juga mulai banyak yang bertanya,” kata dia usai rapat mengenai insentif perpajakan di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (9/4) malam.
Ia mengatakan, beberapa input dari masyarakat yang diterima oleh pemerintah seperti mengapa sebuah sektor tidak termasuk dalam cakupan industri pionir yang ada dalam PMK tersebut untuk bisa menerima tax holiday.
“Kami dalam tahap sampaikan ke masyarakat bahwa ini loh industri yang dapat. Kenapa sektor ini dan itu tidak dapat juga ada banyak yang nanya. Kami diskusikan ini,” ucapnya.
Menurut Suahasil, review dalam kebijakan tax holiday ini akan dilakukan secara periodik oleh pemerintah. Sebab, pemerintah tidak ingin mengulang kegagalan program tax holiday sebelumnya, di mana peminatnya sangat sedikit,
Menurut catatan Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Yunirwansyah dalam pemberitaan Kontan.co.id pada Januari 2018, yang memanfaatkan tax holiday hanya lima wajib pajak. “Kemarin kan kecil banget peminatnya, nanti kami tanya ke Kadin ke Apindo,” ucap Suahasil.
Asal tahu saja, salah satu masukan dari PMK ini adalah dari industri energi terbarukan. Insentif ini dinilai kurang menarik sebab nilai rencana penanaman modal paling sedikit sebesar Rp 500 miliar masih terlalu besar untuk investasi energi terbarukan.
“Rp 500 miliar hanya untuk investasi dengan kapasitas lebih besar dari 10 megawatt (MW). Di bawah 10 MW, investasinya paling maksimal Rp 350 miliar,” kata Direktur Green Finance Asia South Pole Paul Butarbutar kepada Kontan.co.id, Senin (9/4).
Adapun ia mengatakan, apabila pemerintah serius fokus ke investasi energi terbarukan, yang paling berpengaruh dalam hal perpajakannya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) selama masa pengembangan dan pembangunan. Dengan demikian, diharapkan hal ini bisa dibebaskan juga oleh pemerintah.
“PPN 10%, kan lumayan untuk menghemat biaya investasi. Masalahnya, listrik yang dijual tidak kena PPN, jadi kami tidak bisa restitusi,” ucap dia.
Senada, Ketua Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Riza Husni mengatakan bahwa nilai minimum Rp 500 miliar masih terlalu besar. Untuk energi terbarukan, menurutnya, seharusnya boleh dimanfaatkan untuk nilai investasi atau tambahan investasi minimal Rp 30 miliar-Rp 40 miliar.
“Artinya PLTMH atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 2 MW bisa tercakup,” kata dia kepada Kontan.co.id.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News