Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/2018 yang mengatur soal kemudahan fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday).
Dalam PMK ini, pemerintah membuka kemungkinan bagi industri pionir baru untuk mendapatkan tax holiday, salah satunya infrastruktur ekonomi yang termasuk juga investasi energi terbarukan.
Namun demikian, insentif ini dinilai kurang menarik oleh kalangan usaha. Direktur Green Finance Asia South Pole Paul Butarbutar mengatakan, secara prinsip kebijakan ini menarik, tapi persyaratannya tidak menarik.
Sebab, nilai rencana penanaman modal paling sedikit sebesar Rp 500 miliar masih terlalu besar untuk investasi energi terbarukan.
“Rp 500 miliar hanya untuk investasi dengan kapasitas lebih besar dari 10 megawatt (MW). Di bawah 10 MW, investasinya paling maksimal Rp 350 miliar,” kata Paul kepada Kontan.co.id, Senin (9/4).
Adapun ia mengatakan, apabila pemerintah serius fokus ke investasi energi terbarukan, yang paling berpengaruh dalam hal perpajakannya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) selama masa pengembangan dan pembangunan. Dengan demikian, diharapkan hal ini bisa dibebaskan juga oleh pemerintah.
“PPN 10%, kan lumayan untuk menghemat biaya investasi. Masalahnya, listrik yang dijual tidak kena PPN, jadi kami tidak bisa restitusi,” ucap dia.
Senada, Ketua Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hydro (PLTMH) Riza Husni mengatakan bahwa nilai minimum Rp 500 miliar masih terlalu besar. Untuk energi terbarukan, menurutnya, seharusnya boleh dimanfaatkan untuk nilai investasi atau tambahan investasi minimal Rp 30-40 miliar.
“Artinya PLTMH atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 2 MW bisa tercakup,” kata dia kepada Kontan.co.id.
Sebelumnya, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Rofianto Kurniawan mengatakan, dalam cakupan industri pionir infrastruktur ekonomi sendiri, pemerintah memiliki indikator tersendiri untuk diberikan tax holiday-nya.
Misalnya, memiliki dampak ekonomi yang luas dan eksternalitas tinggi. “Sebenarnya kalau infrastruktur ekonomi, misalnya kita mau kembangkan pembangkit listrik, itu kita utamakan pembangkit yang renewable energy. Katakanlah pembangkit listrik yang menggunakan tenaga sampah, dan sebagainya. Kami prioritaskan ke arah situ,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News