Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur. Namun untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur, pemerintah tidak bisa sendiri.
Dari total kebutuhan pembiayaan infrastruktur yang mencapai Rp 4.769 triliun selama lima tahun (2015-2019) sumber investasi pemerintah dari APBN dan APBD hanya sekitar 41,3% atau sebesar Rp 1.969 triliun.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah, mendorong BUMN dan partisipasi swasta untuk terlibat dalam investasi pembangunan infrastruktur. Dalam konteks ini, melalui skema Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA), pemerintah ingin mendorong perusahaan-perusahaan Indonesia bisa menjadi investor infrastruktur di negaranya sendiri.
“Akan sangat baik kalau investor infrastruktur berasal dari Indonesia, tidak harus BUMN saja, tapi juga bisa perusahaan swasta,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro dalam keterangannya, Senin (22/1).
Bahkan, karena infrastruktur merupakan salah satu bisnis yang paling menguntungkan kata Bambang, pemerintah juga mendorong koperasi bisa masuk ke infrastruktur. Masalahnya saat ini, masih berkembang paradigma masa lalu kalau infrastruktur pasti pemerintah.
Seolah-olah pembangunan infrastruktur bukan lahannya swasta atau koperasi. Dari masalah tersebut, kemudian pemerintah mulai intensif memperkenalkan dan mengedukasi bahwa ada bagian dari infrastruktur yang bisa dikerjakan swasta atau koperasi, yang tentunya visible dan profitable buat investornya.
Menurut Bambang, dalam mengundang investor pembangunan infrastruktur, pemerintah tidak pilih-pilih atau memprioritaskan negara tertentu. Pastinya, pemerintah mengundang investor yang berminat dan punya kemampuan.
Baik kemampuan keuangan dan juga kombinasi kemampuan keuangan dan track record. Pemerintah tentunya, tentunya ingin investor yang masuk ke Indonesia merupakan investor yang sudah biasa dengan infrastruktur.
Makanya kalau Bappenas melakukan roadshow tujuan pertama adalah investor yang sudah biasa berinvestasi di infrastruktur baik di negaranya sendiri maupun di negara emerging seperti Indonesia.
“Jadi kita tidak pilih kasih dalam mengundang investor. Kita lihat siapa yang punya kemampuan, punya track record dan berminat, silahkan berpartisipasi untuk menjadi investor pembangunan infrastruktur di Indonesia,” tegas Bambang.
Sebelumnya, saat menyampaikan sambutan kunci di acara PINA Day 2018: Pembiayaan Proyek Infrastruktur dan Struktur Kerjasama PINA, Kamis (18/1), Bambang Brodjonegoro, mengatakan pembangunan infrastruktur, diyakini sebagai kunci bagi Indonesia untuk menjadi negara maju.
Apabila kita ingin menjadi negara maju, kita membutuhkan banyak kelengkapan. Salah satu environment yang mendukung mengalirnya modal ke Indonesia dan memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia adalah infrastruktur.
Sebagai contoh, apabila kita tidak address masalah kemacetan di Jakarta, lama kelamaan pertumbuhan akan semakin pelan, karena tidak ada input melalui modal dan infrastruktur yang dapat mendorong output atau pertumbuhan ekonomi. “Lama-lama, infrastruktur bukan lagi menjadi faktor pendukung, tetapi bisa menjadi faktor penghambat pertumbuhan,” ujarnya.
Berdasarkan rata-rata standar global, stok infrastruktur terhadap PDB adalah 70 %. Pada 2012 dan mungkin tidak berbeda jauh dengan kondisi saat ini, stok infrastruktur Indonesia terhadap PDB masih 32 %, di bawah standar global.
Kalau kita bicara negara maju, Jepang itu standar infrastrukturnya di atas 100 %, atau lebih besar daripada GDP-nya. China sudah hampir 80 %. Amerika Serikat sebesar 75 hingga 76 %. Jadi, kalau Indonesia mau menjadi negara maju, maka kita akan bermimpi kalau kita tidak pernah membangun infrastruktur," tegas beliau.
Menurut Bambang, pembangunan infrastruktur harus dilakukan sedini mungkin, karena proyek infrastruktur membutuhkan jangka waktu menengah panjang. Sebagai contoh, pembangunan pembangkit listrik membutuhkan waktu tiga hingga empat tahun.
Kalau ada pemerintahan yang mengatakan saya tahu infrastruktur penting, tetapi mengatakan biar pemerintahan berikutnya yang membangun infrastruktur, itu artinya dia tidak mau dikenai beban memikirkan infrastruktur.
Pemerintahan yang peduli dengan masa depan Indonesia adalah yang berpikir apabila Indonesia mau menjadi negara maju ketika tahun 2045, infrastrukturnya harus dibangun dari sekarang," jelas mantan Menteri Keuangan ini.
Sebagai contoh, Menteri Bambang menjelaskan pembangunan MRT Jakarta yang terlambat. MRT Jakarta yang sudah didesain pada 1990-an baru mulai konstruksi pada 2013. Kalau terlambat membangun infrastruktur, akan ada wasting of resources, energy, dan money.
“Kita benar-benar telah menyia-nyiakan potensi ekonomi yang harusnya sudah berkembang sejak 1990-an, kita diamkan sampai tahun 2013. Yang menyedihkan dalam konteks MRT tersebut adalah masih diskusi klasik tentang financial benefit versus economic benefit,” jelasnya.
Menurutnya, sampai kapan pun proyek MRT di mana pun di dunia, jarang yang bisa profit. Harusnya, berpikir economic benefit. Mungkin uang secara riil tidak kelihatan, tapi manfaatnya dapat dihitung dengan pendekatan ekonomi, bukan dengan pendekatan finansial.
Untuk itu, pemerintah saat ini melalui Kementerian PPN/Bappenas sangat berkomitmen mengawal pembangunan infrastruktur salah satunya melalui pembiayaan dengan skema PINA, juga merangkul sektor swasta dan BUMN.
“Kita harap yang berpartisipasi dalam PINA adalah murni sektor swasta dan BUMN yang tidak mencari PMN. Kita menerapkan PINA di sini karena di negara lain sudah menjadi best practice. Di negara-negara seperti China, Kanada, dan Australia, peranan swasta dalam infrastruktur cukup masif karena keterlibatan dana pensiun mereka,” paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News