Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sejumlah regulasi pajak baru resmi berlaku pada paruh kedua tahun 2025. Mulai dari kebijakan pajak atas aset kripto, pajak transaksi emas melalui bank bullion, hingga penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak.
Namun, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, berbagai kebijakan baru di bidang pajak tersebut tidak akan memberikan lonjakan penerimaan negara secara signifikan.
"Untuk PPh, baik dari kripto maupun dari bank bullion tidak akan memberikan tambahan penerimaan secara signifikan. Namun, untuk marketplace sebagai pemungut, potensi penerimaan akan tergantung seberapa banyak merchant yang selama ini belum patuh," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu (10/8).
Baca Juga: Celios Temukan Insentif Pajak Dinikmati Konglomerat, Kemenkeu Janji Evaluasi
Menurutnya, mekanisme baru penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak hanya mengubah cara pemungutan, bukan menambah beban pajak. Mekanisme tersebut akan membantu menangkap para pelaku usaha yang selama ini belum patuh.
Fajry menilai, target penerimaan pajak 2025 memang terlalu ambisius, salah satunya bergantung pada asumsi kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.
Namun, pada awal tahun, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN hanya untuk barang mewah saja.
Ia melihat, regulasi yang berlaku di semester II-2025 tidak akan memperoleh penerimaan sebesar kenaikan tarif PPN.
"Jadi, ketiga regulasi yang baru dikeluarkan tidak cukup untuk mencapai target penerimaan pada tahun ini," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat menilai tiga kebijakan pajak baru yang berlaku pada semester II-2025 masih terlalu kecil untuk menutup gap menuju target penerimaan pajak dalam APBN tahun ini.
"Memang sedikit menambah traksi penerimaan di Semester II ini, namun besaran tambahannya, bahkan pada skenario optimistis pun saya rasa belum mampu untuk menutup gap menuju target APBN," kata Ariawan.
Ariawan memperkirakan, realisasi penerimaan pajak 2025 akan berakhir pada kisaran Rp 2.077,0 triliun hingga Rp 2.077,5 triliun, atau hanya kurang lebih 95% dari target.
Ariawan menjelaskan, persoalan utama ada pada waktu pelaksanaan dan cakupan (timing & coverage). PPh 22 marketplace baru berlaku pertengahan tahun dan menyasar segmen omzet tertentu sehingga dampaknya tahun ini lebih banyak pada perbaikan kepatuhan, bukan perluasan basis yang masif.
Sementara itu, aturan pajak kripto yang efektif 1 Agustus 2025 sangat bergantung pada kecepatan penunjukan penyelenggara PMSE luar negeri serta kepatuhan wajib pajak.
Untuk PPh 22 emas bullion yang juga mulai berlaku 1 Agustus 2025, meski memberi kepastian perlakuan pajak (equal treatment), basis pungutannya terbatas dengan tarif 0,25% sehingga penyerapan awalnya kecil.
Berdasarkan hitungan Ariawan, tambahan penerimaan pada Agustus–Desember 2025 dari ketiga kebijakan itu hanya berkisar Rp 0,14 triliun hingga Rp 0,62 triliun.
"Bahkan pada skenario paling optimis, tambahan ini belum cukup signifikan untuk menutup gap penerimaan," katanya.
Ia juga mengingatkan faktor eksternal yang bisa mengerem penerimaan pajak, seperti potensi restitusi tinggi, harga komoditas yang moderat, serta batalnya kenaikan PPN menjadi 12% tahun ini.
"Hal ini mengurangi top-line pajak 2025," pungkas Ariawan.
Baca Juga: Setoran Pajak Konglomerat dan Perusahaan Raksasa Masih Seret pada Semester I-2025
Selanjutnya: Lewat IP-CEPA, 90% Produk Indonesia Bebas Bea Masuk ke Peru
Menarik Dibaca: Tengok Ramalan Zodiak Karier & Keuangan Besok Rabu 13 Agustus 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News