Reporter: Bidara Pink | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) memperjelas kemungkinan mereka untuk mulai mengerek suku bunga acuan pada awal Maret 2022. Hal ini seiring dengan meningkatnya inflasi di AS dan bahkan menyentuh 7% yoy. Ini merupakan kenaikan terbesar dalam hampir empat dekade dan jauh lebih tinggi dari target The Fed yang sebesar 2%.
Selain itu, ini juga didorong oleh perbaikan di pasar tenaga kerja yang mengurangi tingkat pengangguran di negara Paman Sam. Lantas, dengan kondisi seperti ini, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memperkirakan BI tidak akan latah dalam mengerek suku bunga acuan.
“BI masih akan cenderung berhati-hati dengan melihat perkembangan ekonomi terkini. BI tidak akan buru-buru dalam menaikkan suku bunga acuan,” ujar Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky kepada Kontan.co.id, Minggu (16/1).
Baca Juga: Surplus Neraca Perdagangan Diprediksi Turun pada Akhir 2021, Ini Penyebabnya
Riefky bilang, bila BI buru-buru melakukan pengetatan kebijakan moneter termasuk peningkatan suku bunga acuan, maka ini bisa mengganggu stabilitas ekonomi makro dan proses pemulihan yang sedang berjalan.
Selain itu, tingkat inflasi Indonesia juga masih rendah dan bahkan berada di bawah kisaran sasaran BI yang sebesar 3% plus minus 1%. Bacaan Riefky, peningkatan suku bunga acuan baru akan terjadi di paruh kedua tahun ini. Namun, BI juga tteap mewaspadai perkembangan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, terutama daya beli.
“Apalgi pada akhir 2021 dan awal tahun 2022 kita berkutat dengan Omicron dan sampai sejauh ini kita belum tahu ekskalasinya akan sejauh apa,” kata Riefky.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News