Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Dunia turut menyoroti terkait instrumen moneter Bank Indonesia (BI) yakni sekuritas mata uang lokal atau sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang ternyata lebih dilirik investor ketimbang surat berharga negara (SBN) pemerintah.
Untuk diketahui, BI memperkenalkan SRBI sebagai respons dari adanya pengetatan siklus The Fed yang dimulai pada 2022 lalu. Tujuannya adalah untuk menarik aliran portofolio.
SRBI diterbitkan BI sebagai pengakuan utang jangka pendek dengan menggunakan SBN yang dimiliki BI sebagai aset acuan. SRBI merupakan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OMO) yang memiliki mandat ganda yaitu menyerap kelebihan likuiditas, dan menarik aliran portofolio untuk menjaga stabilitas mata uang dan penyangga eksternal.
Dibandingkan dengan obligasi negara, SRBI merupakan aset dengan jangka waktu lebih pendek, dengan jangka waktu 6 bulan,9 bulan atau 12 bulan.
Suku bunga SRBI secara konsisten lebih tinggi dibandingkan obligasi negara (SBN). Misalnya pada lelang SRBI awal Mei 2024, SRBI tenor 1 tahun menawarkan imbal hasil sebesar 7,5% berbanding 6,7% pada SBN tenor 1 tahun. imbal hasil tersebut pula yang akhirnya membuat investor lebih melirik SRBI dibandingkan SBN.
“Sebagai instrumen yang memberikan imbal hasil lebih tinggi, SRBI tampaknya membatasi pinjaman pemerintah. Bank-bank komersial mengurangi kepemilikannya pada surat berharga pemerintah dan beralih ke surat berharga baru dari BI,” mengutip laporan terbaru Bank Dunia bertajuk Indonesia Economic Prospect edisi Juni 2024, Rabu (26/6).
Baca Juga: Asing Tinggalkan Pasar Indonesia, Begini Respons Gubernur BI
Bank Dunia mencatat, pada September 2023 dan Februari 2024, kepemilikan bank umum atas obligasi pemerintah menurun dari 30,4% menjadi 25,6% dari total beredar.
Akan tetapi, sebagai bentuk tanggung jawab BI atas menurunnya kepemilikan obligasi pemerintah, BI melakukan intervensi di pasar sekunder dengan membeli surat berharga pemerintah, sehingga meningkatkan kepemilikannya dari 16,2% menjadi 20,7%.
Untuk mencegah crowding out lebih lanjut, BI juga untuk sementara waktu mengurangi volume penerbitan SRBI, menguranginya hingga setengahnya dari Rp 49,4 triliun menjadi Rp 25,6 triliun antara bulan Februari dan Maret 2024.
“Risiko lainnya termasuk mengusir investor ekuitas asing yang menghadapi risiko kredit lebih tinggi namun relatif kurang menarik. kembali. Arus keluar ekuitas (equity outflow) dari bursa Indonesia memang terjadi akhir-akhir ini pada bulan April-Juni,” tulis laporan tersebut.
Meski begitu, setelah kebijakan Fed yang lebih hawkish, pada April 2024 terjadi arus keluar portofolio secara luas, termasuk dari SRBI.
Pada kuartal I 2024, investor non-residen memiliki sekitar 22% dari total SRBI yang beredar, sementara sisanya sebagian besar dimiliki oleh bank-bank komersial dalam negeri.
Namun, seiring dengan pengetatan kondisi moneter global, investor asing telah menjual kepemilikan SRBI. Dampaknya, porsi kepemilikan asing di SRBI turun hingga 18% pada akhir April 2024.
Lebih lanjut, menyusul kenaikan suku bunga kebijakan BI pada bulan April 2024, suku bunga SRBI 1 tahun secara bersamaan melonjak sebesar 500 basis poin (bps) hingga mencapai 7,5% pada awal bulan Mei. Hal ini semakin melebar dibandingkan SBN tenor 1 tahun sebesar 6,8%.
Baca Juga: BI Mencatat Kepemilikan Asing di SRBI Mencapai Rp 179,86 Triliun
Ke depannya, BI juga memutuskan untuk melelang SRBI lebih sering dari sekali hingga dua kali seminggu untuk menarik lebih banyak arus masuk portofolio.
Dengan suku bunga yang lebih tinggi dan lelang yang lebih sering, SRBI membukukan arus masuk asing sebesar Rp 81,6 triliun dan porsi kepemilikan asing meningkat tajam menjadi 27% dari total beredar SRBI pada bulan Mei.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News