kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.774.000   15.000   0,85%
  • USD/IDR 16.505   -25,00   -0,15%
  • IDX 6.258   -123,50   -1,94%
  • KOMPAS100 886   -22,04   -2,43%
  • LQ45 692   -18,18   -2,56%
  • ISSI 198   -4,07   -2,02%
  • IDX30 362   -8,54   -2,31%
  • IDXHIDIV20 438   -7,77   -1,74%
  • IDX80 100   -2,74   -2,66%
  • IDXV30 107   -0,87   -0,81%
  • IDXQ30 119   -2,62   -2,16%

Bank Dunia Sebut Tingkat Ketidakpatuhan Pajak di Indonesia Tinggi, Ini Kata Pengamat


Kamis, 20 Maret 2025 / 18:46 WIB
Bank Dunia Sebut Tingkat Ketidakpatuhan Pajak di Indonesia Tinggi, Ini Kata Pengamat
ILUSTRASI. Petugas melayani wajib pajak yang melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Barat di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (7/3/2025). Direktorat Jenderal Pajak Sulawesi Sela


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia atau World Bank mengungkapkan bahwa kesenjangan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan di Indonesia mencapai rata-rata 6,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 944 triliun selama tahun 2016 hingga 2021.

Dalam laporan bertajuk Economic Policy: Estimating VAT and CIT Gaps in Indonesia, tingginya angka ketidakpatuhan menjadi faktor utama yang mempengaruhi penerimaan pajak, khususnya dalam PPN.

Laporan tersebut menunjukkan, celah kepatuhan (compliance gap) memiliki dampak lebih besar terhadap penerimaan PPN dibandingkan dengan keputusan kebijakan pajak. 

Baca Juga: Bank Dunia Sebut Banyak Perusahaan Kemplang Pajak, Pemerintah Buka Suara

Sebaliknya, untuk PPh Badan, kesenjangan kebijakan (policy gap) lebih besar dibandingkan dengan celah kepatuhan. 

Secara keseluruhan, celah kepatuhan dalam PPN dan PPh Badan menyumbang 58% dari total potensi penerimaan pajak yang hilang.

"Rasio ketidakpatuhan sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara peer Indonesia dan dalam perbandingan internasional yang lebih luas," tulis World Bank dalam laporannya, Kamis (20/3).

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi menilai tingginya ketidakpatuhan pajak ini disebabkan oleh berbagai faktor.

Menurutnya, fenomena ini disebabkan oleh kombinasi faktor struktural, administrasi, dan psikologis yang menghambat kepatuhan wajib pajak.

Salah satu faktor utama adalah kompleksitas sistem perpajakan yang tinggi. Aturan pajak yang sering berubah, prosedur administrasi yang rumit, serta implementasi sistem digital seperti Coretax yang masih bermasalah, membuat banyak wajib pajak mengalami kesulitan dalam memahami dan memenuhi kewajiban mereka.

Baca Juga: Bank Dunia Sebut Pengumpulan Pajak di Indonesia Tidak Efisien, Ini Penyebabnya

Selain itu, lemahnya penegakan hukum terhadap penghindaran dan penggelapan pajak juga berkontribusi terhadap rendahnya kepatuhan. 

Banyak perusahaan besar dan individu berpenghasilan tinggi yang memanfaatkan celah hukum untuk menghindari pajak, sementara tindakan penegakan hukum sering kali lemah. 

Ketidakpastian dalam sistem hukum dan kurangnya koordinasi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan lembaga lain semakin memperburuk situasi.

Dari sisi ekonomi, Syafruddin menilai rendahnya insentif bagi kepatuhan pajak menjadi tantangan tersendiri. Banyak wajib pajak merasa bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat langsung dari pajak yang mereka bayarkan. 

Persepsi publik terhadap pengelolaan keuangan negara yang kurang transparan dan maraknya korupsi semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.

Baca Juga: Bank Dunia Sebut 26 Negara Termiskin Alami Kondisi Keuangan Terburuk Sejak 2006

"Jika pemerintah tidak dapat menunjukkan bahwa pajak digunakan secara efektif untuk pembangunan dan kesejahteraan, maka banyak individu dan perusahaan akan mencari cara untuk menghindari pajak," ujar Syafruddin kepada Kontan.co.id, Kamis (20/3).

Selain itu, tingginya angka ekonomi informal juga turut memperburuk tingkat kepatuhan pajak. Banyak usaha kecil dan pekerja informal yang tidak tercatat dalam sistem perpajakan, sehingga mereka tidak terbiasa dengan kewajiban pajak.

"Tanpa mekanisme yang lebih inklusif dan insentif yang menarik sektor informal ke dalam sistem pajak, basis pajak akan tetap sempit dan ketidakpatuhan akan terus tinggi," katanya.

Baca Juga: Bank Dunia: Satu dari Empat Perusahaan Indonesia Terlibat Penghindaran Pajak

Sebagai solusi, Syafruddin menekankan perlunya reformasi perpajakan yang menyeluruh. Otoritas Pajak harus menyederhanakan sistem pajak, memperkuat penegakan hukum, meningkatkan transparansi anggaran negara, dan memperluas jangkauan pajak ke sektor informal. 

"Tanpa reformasi menyeluruh, ketidakpatuhan pajak akan terus menjadi ancaman bagi stabilitas fiskal Indonesia," pungkasnya.

Selanjutnya: Bukalapak (BUKA) Catat Pendapatan Bunga Deposito Rp 1,03 Triliun pada Tahun 2024

Menarik Dibaca: Cerah dan Berawan, Simak Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (21/3)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×