kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Baleg DPR Sebut Belum Ada Draf Resmi Omnibus Law RUU Kesehatan


Senin, 28 November 2022 / 16:24 WIB
Baleg DPR Sebut Belum Ada Draf Resmi Omnibus Law RUU Kesehatan
ILUSTRASI. Petugas memeriksa dome Gedung Nusantara DPR RI atau Gedung Kura-kura di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Sekretariat Jenderal DPR RI menganggarkan sebesar Rp 4,5 miliar untuk perbaikan gedung tersebut.?TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Legislasi (Baleg) DPR memastikan belum ada draf resmi Omnibus Law RUU Kesehatan.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR M Nurdin mengatakan, saat ini Baleg DPR tengah melakukan proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk menjaring masukan dari berbagai stakeholder terkait. Adapun hingga saat ini Baleg DPR telah menjaring masukan dari 28 stakeholder terkait.

Nurdin menjelaskan, filosofi penyusunan RUU Kesehatan berdasarkan dua hal. Pertama, jika pengaturan eksisting masih baik, maka pengaturan akan dikembalikan pada pengaturan eksisting. Kedua, jika pengaturan eksisting kurang, maka akan disempurnakan.

Nurdin mengatakan, pihaknya akan kembali membahas dengan stakeholder jika sudah ada draf resmi Omnibus Law RUU Kesehatan. Nantinya stakeholder juga dapat memberikan masukan terhadap draf yang sudah ada.

“Jadi prosesnya masih RDPU (rapat dengar pendapat umum) untuk menyusun Naskah Akademik, belum ada draf RUU. Proses menuju draf masih lama," ucap Nurdin di Kompleks Parlemen, Senin (28/11).

Baca Juga: Ini Masukan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia soal RUU Kesehatan

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Adib Khumaidi mengatakan, permasalahan kesehatan secara umum karena belum optimalnya implementasi regulasi yang ada.

Salah satu hal yang menjadi perhatian pihaknya adalah peningkatan produksi dokter spesialis. Menurutnya, dengan adanya 95 fakultas kedokteran dan rencana membuat 60 fakultas kedokteran baru dinilai dapat menghasilkan dokter spesialis yang terlalu banyak.

"Kalau umpamanya produksinya berlebih, kalau teori ekonomi dengan teori sosial berbeda. Kalau teori ekonomi kalau lebih ngga apa-apa. Kalau teori sosial, pada saat itu berlebih yang terjadi adalah kompetisi. Kompetisi yang tidak sehat itu akan merugikan pelayanan kesehatan dan merugikan pasien," jelas Adib.

Kemudian, Adib menyoroti soal banyaknya daerah daerah yang kekurangan dokter. Menurutnya, jika pengaturan distribusi dokter hanya diatur oleh SKB dua menteri yakni menteri kesehatan (menkes) dan menteri pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi (mendikbudristek), tidak akan bisa terimplementasi dengan baik tanpa keterlibatan kementerian dalam negeri.

"Kita tidak ingin kemudian muncul sebuah undang-undang yang nanti tidak implementatif dan keberadaannya tidak dirasakan oleh masyarakat," ujar Adib.

Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Mahesa Pranadipa Maikel menambahkan, belum ada urgensi pembentukan Omnibus Law RUU Kesehatan.

Mahesa menyebut 3 alasan penolakan IDI terhadap Omnibus Law RUU Kesehatan. Pertama, penyusunan RUU tersebut dinilai terburu-buru, tertutup dan terkesan sembunyi.

Kedua, Mahesa menilai akan ada kapitalisasi dan liberalisasi kesehatan melalui Omnibus Law RUU Kesehatan. Ketiga, Mahesa menilai akan ada penghapusan peran organisasi profesi dalam pembinaaan, pengawasan dan rekomendasi penerbitan surat tanda registrasi (STR).

Mahesa mengatakan, ada upaya menjadikan masa berlaku STR seumur hidup. Hal ini dinilai akan mengurangi fungsi pengawasan, evaluasi dan pembinaan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya.

"Evaluasi harus ditegakkan secara terus-menerus. Tidak boleh seumur hidup, dan seluruh negara tidak ada izin. Tujuannya untuk keselamatan pasien dan rakyat," ujar Mahesa.

Baca Juga: DPR: RUU POM untuk Perkuat Pengawasan post-market Obat dan Makanan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×