kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini Masukan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia soal RUU Kesehatan


Senin, 14 November 2022 / 17:38 WIB
Ini Masukan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia soal RUU Kesehatan
ILUSTRASI. DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan (Omnibus Law Kesehatan).


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) memberikan sejumlah catatan terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan (Omnibus Law Kesehatan).

Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menyampaikan, pendekatan prioritas pembangunan kesehatan masyarakat selama ini cenderung reaktif dan perlu perubahan ke arah proaktif promotif yang komprehensif dan integratif. IAKMI menilai perlunya transformasi fundamental yang memfokuskan pada upaya pencegahan komprehensif.

Oleh karena itu, IAKMI mengusulkan upaya kesehatan masyarakat (UKM) dari UKM primer, sekunder dan tersier diatur dengan baik dalam RUU Kesehatan Omnibus Law. Selain itu, IAKMI juga memberi catatan perihal wacana sejumlah poin yang akan masuk dalam RUU Omnibus Law Kesehatan.

Ede mengatakan, ada wacana menghilangkan masa berlaku surat tanda registrasi (STR) menjadi tanpa jangka waktu.

"Ini harus dikaji lebih dalam karena akan menghilangkan nilai-nilai continuing professional development," ujar Ede dalam RDPU dengan Badan Legislasi DPR RI, Senin (14/11).

Baca Juga: RUU Omnibus Law Kesehatan, DPR: Penerapan TKDN Sektor Farmasi Perlu Didukung

Menurut Ede, dengan adanya hal itu para tenaga kesehatan (nakes) berpotensi tidak akan mau lagi mengikuti pertemuan ilmiah, riset, maupun pengabdian masyarakat yang selama ini berjalan. Padahal dinamika perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat berkembang cepat.

Kemudian, IAKMI merespons wacana BPJS Kesehatan yang nantinya bertanggungjawab kepada presiden melalui menteri kesehatan.

"Hal ini harus ditinjau kembali karena cenderung membuat Kementerian Kesehatan menguatkan peranannya "mengurus orang orang yang sakit" dan bukan fokus menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat," ujar Ede.

Senada, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, Omnibus Law RUU Kesehatan mendapatkan sorotan masyarakat karena dalam naskah akademiknya merancang hal- hal yang berpotensi menciptakan kontraproduktif.

Timboel mengatakan, dalam naskah akademik RUU Kesehatan, mengatur banyak hal yang merevisi UU eksisting. Salah satu UU yang akan ikut direvisi adalah UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.

Rencananya, pasal-pasal di UU BPJS yang akan direvisi adalah tentang tanggungjawab Direksi BPJS (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) yaitu ke Menteri teknis. Padahal yang ada dalam UU BPJS, saat ini Direksi bertanggungjawab langsung ke Presiden.

"Posisi BPJS ingin dijadikan seperti BUMN, yang dikendalikan Menteri," ucap Timboel.

Lalu, Timboel menyoroti peran Dewan Pengawas BPJS yang akan dijadikan seperti Komisaris BUMN. Yaitu mengarahkan kerja-kerja direksi serta mengusulkan pemberhentian dan pengangkatan direksi BPJS.

Demikian juga ada 14 UU terkait kesehatan dan kedokteran yang akan direvisi seperti keberadaan konsil kedokteran, organisasi IDI, dan lainnya.

Timboel mengatakan, RUU Kesehatan menuai banyak protes dari kalangan organisasi kesehatan, pekerja kesehatan serta lembaga masyarakat lainnya.

Menurutnya, dari kandungan naskah akademik yang beredar di masyarakat pun, tampak pembuatan naskah akedemik sepertinya dibuat berdasarkan kepentingan beberapa pihak saja dan menarasikan sesuatu yang tidak benar. Padahal esensi naskah akademik akan menjadi acuan dalam penyusunan batang tubuh RUU Kesehatan.

Timboel mengungkapkan, salah satu narasi yang menurutnya tidak benar dan diuraikan secara hiperbol adalah tentang relasi Menteri dan Direksi BPJS yang selalu tidak harmonis. Dari narasi ketidakharmonisan tersebut dimunculkan ide Direksi bertanggungjawab ke Menteri teknis.

Ia menyebut, kementerian dan BPJS sudah memiliki peran dan fungsi yang jelas dan saling melengkapi. Kementerian sebagai regulator sementara BPJS sebagai operator.

"Saya kira seharusnya naskah akademik dibuat secara obyektif berdasarkan fakta yang ada serta mengarah dan mengabdi pada kesejahteraan rakyat, bukan dibuat demi kepentingan segelintir orang," kata Timboel.

Baca Juga: IDI: Rekomendasi Organisasi Profesi untuk Surat Izin Praktik Masih Diperlukan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×