Reporter: Markus Sumartomdjon | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebakaran hutan dan gambut yang terjadi pada tahun 2015 di wilayah Indonesia, Malaysia dan Singapura masih mengundang perhatian berbagai kalangan. Salah satunya dari akademisi dunia yakni Harvard dan Columbia University.
Tim peneliatian dari perguruan tinggi ternama tersebut membuat laporan dalam artikel jurnal berjudul Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration. Disitu mereka melakukan permodelan dengan skenario Business as Usual (BAU) dari skenario Land Use dan Land Use Change (LULC).
Hasilnya, jika pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak berjalan maksimal, dalam jangka panjang, kematian dini yang ditimbulkan dapat mencapai angka 36.000 jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama periode 2020 hingga 2030. Dari angka itu, 92% kasus kematian dini diperkirakan akan terjadi di wilayah Indonesia, 7% di Malaysia dan 1% di Singapura.
Baca Juga: BRG optimistis dapat merestorasi 200.000 ha lahan gambut tahun ini
Sebab, bencana kebakaran hutan dan gambut pada September-Oktober 2015 telah melepas emisi karbon dioksida setara dengan emisi bahan bakar fosil yang dilepaskan oleh Jepang atau India selama setahun. Kebakaran membuat lebih dari 69 juta orang menderita infeksi saluran pernapasan akut karena udara yang tercemar. Selain itu, seperti perhitungan World Bank, bencana tersebut juga menyebabkan kerugian materil lebih US$ 16 miliar.
Sejatinya, pemulihan lahan gambut di Indonesia menjadi prioritas penting karena mampu menyimpan 57 gigaton atau 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral. Pasca kebakaran 2015, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut untuk mengkoordinasi restorasi ekosistem gambut di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Baca Juga: BRG targetkan supervisi 400.000 hektar lahan gambut tahun ini
Dari total target yang dikerjakan BRG sekitar 892.248 hektare, hingga 2018 sudah dilakukan pembasahan awal seluas 679.901 hektare. Dengan demikian capaian di luar konsesi sepanjang tahun 2016-2018 sebesar 76%.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mulai merubah paradigma penangan kebakaran hutan, dari penanggulangan ke pengendalian. KLHK menegakkan hukum multidoors bagi pelaku penyebab kebakaran hutan dan lahan, dengan langkah hukum pidana, perdata dan administrasi. Langkah hukum yang dilakukan tidak hanya menyasar perorangan, tapi juga korporasi. Dalam kurun waktu 2015-2018 hampir 550 kasus dibawa ke pengadilan. Sebanyak 500 perusahaan dikenakan sanksi administratif terkait pelanggaran yang dilakukan, bahkan ada yang dicabut izinnya.
Tim peneliti Harvard dan Columbia University merekomendasikan strategi komprehensif untuk mengurangi kebakaran dengan penekanan di lahan gambut. Menghentikan kebakaran di seluruh lahan gambut, bisa mengurangi 65% emisi akibat kebakaran dan menekan angka kematian dini di Indonesia sebesar 65%, kemudian 73% kematian dini di Malaysia serta 70% kematian dini di Singapura.
Baca Juga: BRG dan LAPAN teken MoU dukung restorasi ekosistem gambut
Tim peneliti juga mengembangkan aplikasi daring di https://smokepolicytool.users.earthengine.app/view/smoke‐policy‐tool untuk memberi kajian dampak sebaran asap pada lima lokasi prioritas wilayah kerja BRG yang paling berdampak bagi kesehatan masyarakat.
Menurut Budi Wardhana, Deputi Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG), aplikasi yang dikembangkan para pakar lintas keilmuan Harvard dan Columbia University ini akan dipakai BRG dalam menetapkan area prioritas restorasi gambut. Sebelumnya, penetapan wilayah prioritas restorasi gambut hanya dengan menghitung titik api paling banyak. Melalui aplikasi ini, BRG akan menambahkan parameter dampak beban kesehatan masyarakat dalam menetapkan wilayah mana saja yang akan menjadi prioritas restorasi gambut berikutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News