Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) serius merelaksasi rasio antara nilai kredit atau pembiayaan terhadap nilai agunan atau Loan to Value (LTV) berupa LTV spasial. Menurut BI, beleid LTV spasial akan segera difinalisasi dan kemungkinan hanya diterapkan pada kepemilikan properti.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, saat ini rumusan kebijakan dan konsep Peraturan BI (PBI) atas rencana kebijakan relaksasi LTV spasial sedang difinalisasi. Calon beleid itu akan dibahas dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan depan. "November akan kami ajukan dalam RDG, kami akan sampaikan progres lebih lanjut," jelasnya, Jumat (27/10).
Menurut Perry, LTV spasial akan menambah relaksasi LTV nasional yang telah dirilis BI pada 2015 dan 2016. Penambahan relaksasi ini akan diberikan pada daerah atau provinsi dengan mempertimbangkan tiga hal. Pertama, provinsi yang kredit perumahannya terlalu rendah dari yang diperlukan. Perry bilang hal ini bisa dihitung dari trennya hingga data produk domestik bruto (PDB).
Kedua, provinsi yang harga perumahan maupun apartemennya bisa dinilai terlalu rendah. Ini dihitung dari harga tren dan fundamentalnya. "Ada juga yang kreditnya rendah, lalu (harganya) bubble kan tidak ada keperluan untuk menambah relaksasi yang sudah ada. Tetapi untuk provinsi yang harganya rendah bisa ditambah relaksasi LTV lagi," imbuh Perry.
Ketiga, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang masih wajar. Sehingga, "Misalnya LTV nasional sekarang 80% maka provinsi yang mendapat tambahan relaksasi bisa naik menjadi 85%. Jadi DP (down payment) nasional 20%, tapi provinsi yang kreditnya seret, harganya rendah, NPL-nya baik, DP-nya 15%," ujar Perry.
Ekonom Maybank Indonesia Juniman berharap, relaksasi LTV spasial mampu meningkatkan sektor properti setelah melambat sejak 2014. Dengan begitu, harapannya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah itu. Selain tiga indikator itu, kata Juniman, BI juga perlu mempertimbangkan faktor daya beli masyarakat. Jangan sampai setelah ada relaksasi, daya beli masyarakat tetap tak ada. "Maka BI perlu melihat semua indikator, utamanya daya beli," katanya, Jumat (27/10).
BI juga harus memperhatikan lokasi properti dengan daerah pengajuan kredit. Jika berbeda, berpotensi menimbulkan dispute. "Sebab data BI itu mengacu pada kredit yang ada di provinsi masing-masing," tambah Juniman.
Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi berharap calon beleid ini bisa menggerakkan ekonomi nasional. Tapi, perlu kebijakan fiskal pemerintah agar dampaknya lebih terasa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News