kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Atasi Perubahan Iklim, Transisi ke Energi Baru Terbarukan Diperlukan


Rabu, 02 Maret 2022 / 19:09 WIB
Atasi Perubahan Iklim, Transisi ke Energi Baru Terbarukan Diperlukan
ILUSTRASI. Energi terbarukan. ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/aww.


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aktivitas manusia membuat panas bumi terus mengalami peningkatan yang menyebabkan perubahan iklim. Ekonom senior dan tokoh lingkungan Prof Emil Salim mengatakan perubahan iklim pada akhirnya akan mengancam kehidupan manusia.

Dengan meningkatnya suhu bumi diakui akan semakin banyak teknologi yang diciptakan untuk mengatasi hal tersebut. Hanya saja teknologi tersebut tidak dapat mengatasi makin naiknya suhu bumi.

"Kalau suhu terus meningkat menyelimuti seluruh bumi memberi dampak pada pertanian dan curah hujan serta kehidupan binatang. Maka tampak ancaman besar dari dampak pencemaran. Itu yang menjadi sebab timbulnya selimut penutup bumi menimbulkan panas bumi naik suhunya sehingga merubah iklim kehidupan alami ini," jelasnya dalam Kompas Talks bersama Greenpeace "Pentingnya Transisi Hijau untuk Mengatasi Krisis Iklim", Rabu (2/3).

Tahun 2050 menjadi ambang batas dari perubahan iklim itu. Jika pada tahun tersebut suhu bumi semakin naik satu setengah derajat dibandingkan masa industri tahun 1750, maka Emil mengibaratkan kondisi bumi seakan menuju 'neraka hidup'.

Baca Juga: Indonesia Dorong Pengelolaan Danau Berkelanjutan pada Pertemuan Lingkungan PBB

"Maka masyarakat dunia harus menjaga supaya suhu bumi tidak melewati ambang batas satu setengah derajat di atas suhu pra industri pada tahun 2050 mendatang," jelasnya.

Solusi mengurangi perubahan iklim yang terjadi ialah dengan mulai melakukan transisi ke energi baru terbarukan. Energi hijau dari alam seperti angin, gelombang laut, air dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan.

Diketahui Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan yang sangat melimpah. Sayangnya potensi tersebut belum maksimal digunakan. Emil mengungkap justru 70% energi di Indonesia diperoleh memanfaatkan batubara.

Dalam transisi energi baru terbarukan dan ekonomi hijau, Emil menegaskan pentingnya peran generasi muda. Generasi muda di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan mengenai untuk memaksimalkan energi baru terbarukan menjelang 2050.

"Tahun 2050 nanti yang berhak adalah anak-anak muda, maka anak muda belajarlah, kuasailah ilmu, cari jalan keluar, kembangkan energi terbarukan, mencari ekonomi hijau sebagai pengganti ancaman terhadap perubahan iklim," ungkapnya.

Baca Juga: Lonjakan Harga Komoditas Akan Mempengaruhi Bisnis Pelaku Usaha Pangan Domestik

Ardhasena Sopaheluwakan Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG mengatakan, konsentrasi gas rumah kaca mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Padahal gas rumah kaca timbul bukan secara natural di alam ini, melainkan karena dampak dari aktivitas manusia.

Dampak dari perubahan iklim dengan tren kenaikan temperatur akan mengakibatkan Indonesia berpotensi kehilangan salju abadi di Puncak Jaya Wijaya.

"Tren kenaikan sebagai dampaknya tidak bisa dipungkiri, misalkan hilangnya atau mencairnya Puncak Jaya Wijaya yang sudah diatas titik beku sebesar 5 derajat sudah dipastikan beberapa tahun yang akan datang kita akan kehilangan puncak Jayawijaya yang kita kenal dengan salju abadi," ungkap Ardhasena.

Dampak perubahan iklim juga berimbas pada munculnya hujan ekstrem yang yang berdampak kepada banjir dan bencana alam lainnya. Adanya hujan ekstrem makin lama akan membuat potensi kekeringan melandai di masa mendatang.

"Kekeringan yang ekstrem berdampak kepada kejadian kebakaran hutan yang akan berdampak kepada kegiatan transportasi ekonomi dan juga dampak kepada kesehatan," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×