kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.455.000   12.000   0,83%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Atasi konflik lahan butuh peta tunggal


Kamis, 28 Juni 2012 / 18:27 WIB
Atasi konflik lahan butuh peta tunggal
ILUSTRASI. Pengunjung menggunakan masker saat memilih barang yang akan dibeli di sebuah toko ritel penjual perkakas, di Jakarta Timur, Selasa (9/6/2020). Tribunnews/Herudin


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Edy Can


PALANGKARAYA. Masalah sengketa dan lahan ibarat benang kusut yang sulit diurai. Permasalahan yang berlarut-larut ini akibatkan tidak jelasnya status tata guna lahan yang dimiliki rakyat dengan pemegang konsesi lahan. Imbasnya, tumpang tindih dan caplok mencaplok yang berujung pada konflik sosial.

Sebagai solusi, pemerintah harus mempunyai peta hutan bersifat tunggal dan komprehensif. Peta ini sebagai acuan tata guna lahan dan peruntukan bagi semua pihak.

Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Siun Jaris mengatakan, peta hutan tunggal sangat dibutuhkan karena banyak peta-peta yang dikeluarkan sejumlah instansi tapi saling berlainan. "Ini jadi membingungkan kita semua, tidak bisa dijadikan acuan untuk menyelesaikan konflik tanah," katanya.

Menurutnya, peta tunggal hutan ini harus segera dibuat karena masih banyak lahan yang tumpang tindih antara milik adat atau rakyat dengan pemegang konsesi.

Chief of Cluster Environmental Governance Kemitraan Avi Mahaningtyas mengungkapkan, peta tunggal hutan merupakan usaha memperbaiki tata kelola hutan sehingga konflik bisa segera diselesaikan. Sebab, lanjutnya, peta yang ada saat ini sangat beragam namun banyak perbedaan sehingga tidak bisa dijadikan acuan bersama. "Di Kementerian Kehutanan saja, ada tujuh peta, belum lagi di BPN, peta tambang, dan peta tata ruang. Jadi kuncinya harus satu peta," terangnya.

Menurut dia, peta tunggal hutan yang disusun sejak akhir tahun lalu bisa menjadi pedoman dalam memutuskan sengketa dan konflik lahan. Apalagi, sambung Vita, masih terdapat 33.000 desa yang lokasinya sebagian bahkan seluruhnya berada di kawasan hutan sehingga berpotensi konflik.

Selain itu, Kalimantan Tengah yang menjadi percontohan pelaksanaan REDD+ nyatanya masih terdapat jutaan hektare lahan hutan yang tumpang tindih. Dari data Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyebutkan, 25% atau 4 juta hektare lahan berstatus hutan negara tumpang tindih dengan sejumlah perizinan pemanfaatan hutan.

Hal senada diutarakan Fauzi Rachman, pengamat pertanahan. Peta tunggal kehutanan memang dibutuhkan tapi dalam penyusunannya tidak gampang. Saat ini, banyak peta yang dikeluarkan beberapa intansi dan satu sama lain tidak ada kesesuaian. "Ada peta BPN, peta bikinan Kemhut, itu semua berbeda," tandasnya.

Sebab itu, pembuatan peta tunggal ini menjadi tantangan bagi pemerintah yang masih dihadapkan dengan warisan ego sektoral. Nah, solusinya adalah harus ada kebijakan nasional dalam masalah tersebut. Sehingga, masing-masing intansi pemerintah bisa saling koordinasi dalam menyikapi problem lahan ini. "Ngak bisa diselesaikan oleh pemda saja," imbuhnya.

Wakil Ketua REDD+ Mas Achmad Santosa mengatakan, peta tunggal hutan masih dalam proses penyusunan. "Memang ke depannya harus ada peta tungal," katanya yang mengaku belum bisa memastikan kapan peta ini rampung di garap. Namun, dalam penyusunannya tentu akan membuka ruang selebar-lebarnya bagi partisipasi masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Distribution Planning (SCMDP) Supply Chain Management Principles (SCMP)

[X]
×