kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.505.000   -15.000   -0,99%
  • USD/IDR 16.295   -200,00   -1,24%
  • IDX 6.977   -130,64   -1,84%
  • KOMPAS100 1.042   -22,22   -2,09%
  • LQ45 818   -15,50   -1,86%
  • ISSI 213   -3,84   -1,77%
  • IDX30 417   -9,14   -2,14%
  • IDXHIDIV20 504   -9,85   -1,92%
  • IDX80 119   -2,45   -2,02%
  • IDXV30 125   -2,38   -1,87%
  • IDXQ30 139   -2,59   -1,83%

Apindo Minta Kluster Jaminan Sosial Dikeluarkan dari RUU Kesehatan


Selasa, 28 Februari 2023 / 19:55 WIB
Apindo Minta Kluster Jaminan Sosial Dikeluarkan dari RUU Kesehatan
ILUSTRASI. Hariyadi Sukamdani Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan juga President Director Hotel Sahid Jaya International Tbk.foto/Kontan/Tantyo Anon Prasetya


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi RUU inisiatif DPR. Persetujuan itu telah dilakukan pada rapat paripurna yang dilakukan pada Selasa (14/2).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, Apindo mencermati substansi RUU Kesehatan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur pelayanan kesehatan pekerja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Pasal 423 RUU menyebutkan bahwa RUU Kesehatan mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan beberapa pengaturan baru yang diatur dalam UU SJSN Nomor 40/2004, dan UU nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang dijabarkan dalam pasal 424 dan 425.

Apindo khawatir pelayanan kesehatan bagi pekerja sebagai peserta BPJS Kesehatan terancam kualitas pelayanannya akibat sejumlah pengaturan dalam RUU.

Hal tersebut mengingat BPJS Kesehatan akan diwajibkan untuk menerima kerjasama yang diajukan Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang telah memenuhi perizinan sesuai undang-undang yang berlaku.

Baca Juga: Ombudsman Ungkap Ada 700 Aduan Masyarakat Tentang BPJS Kesehatan Sejak 2021-2022

Hal ini bertentangan dengan prinsip sukarela kerjasama BPJS Kesehatan dengan Faskes (pasal 23 UU SJSN) sehingga membatasi BPJS untuk melakukan seleksi atas Faskes yang memenuhi syarat pelayanan.

Akibatnya potensial terjadi Faskes tidak dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang baik bagi peserta karena terjebak dalam birokrasi pemerintahan.

Dunia usaha juga melihat biaya penyelenggaraan BPJS Kesehatan potensial meningkat yang dapat berujung pada kenaikan iuran peserta dan akan membebani pekerja dan pemberi kerja.

Hal itu disebabkan tugas BPJS Kesehatan yang pada dasarnya untuk pelayanan yang bersifat promotif, kuratif dan rehabilitatif, juga harus melaksanakan penugasan-penugasan lainnya dari Kementerian yang membidangi Kesehatan.

Sementara dalam UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pasal 13 UU tidak terdapat pengaturan tersebut.

Hariyadi menyebut, penugasan dari Kementerian yang bukan merupakan tugas BPJS Kesehatan potensial membebani Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS.

DJS yang merupakan milik peserta dapat tergerus untuk melaksanakan tugas tugas kementerian yang semestinya dibiayai dari sumber APBN. Akibatnya, peserta yang harus menanggung biaya tugas tersebut melalui iuran yang dibayarkannya.

Baca Juga: Ketentuan RUU Kesehatan Sebut BPJS di Bawah Kemenkes, Berikut Komentar BPJS Watch

Hariyadi menyebut, hal itu bertentangan dengan salah satu dari 9 prinsip SJSN dalam mengelola dana amanat. Yaitu bahwa DJS yang merupakan dana yang terkumpul dari iuran peserta dan merupakan dana titipan kepada BPJS yang perlu dikelola dan harus digunakan untuk sebesar besarnya kepentingan peserta.

Hal lain yang akan potensial membebani DJS di antaranya terkait pelayanan kesehatan rawat inap tanpa batas yang memberikan beban berlebihan terhadap DJS.

Apindo menilai, pelayanan kesehatan rawat inap seyogyanya berpatokan pada penanganan yang wajar terkait indikasi medis dan standar pelayanan medis pra dan paska rawat jalan.

Disamping itu cakupan pelayanan yang diperluas untuk penanganan medis peserta korban kekerasan dan kecelakaan tunggal juga akan membebani DJS, yang semestinya diatasi oleh program dari institusi lain dengan sumber APBN.

"Tata Kelola BPJS yang diubah dalam RUU Kesehatan mengancam kemandirian BPJS yang dapat berujung pada tidak efektifnya kerja BPJS Kesehatan," ujar Hariyadi dalam konferensi pers, Selasa (28/2).

Apindo juga menyoroti perubahan-perubahan lainnya dalam tata kelola BPJS menjadikan BPJS tidak mandiri. Hal itu tercermin pada pertanggungjawaban BPJS yang semula langsung ke Presiden, diubah menjadi melalui Menteri Kesehatan.

Padahal, sebagai Badan Hukum Publik (BHP) yang mengelola dana masyarakat (meskipun ada juga sebagian dana yang bersumber dari pemerintah melalui PBI-Penerima Bantuan Iuran) posisi kelembagaan saat ini sudah tepat dimana BPJS bertanggungjawab langsung ke Presiden, tidak melalui Kementerian.

Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan Naik Drastis

"Pertanggungjawaban melalui Menteri Kesehatan menempatkan BPJS sebagai subordinasi Kementerian yang memperpanjang birokrasi sehingga tidak efektif dan efisien," ungkap Hariyadi.

Apindo menilai hal tersebut secara mendasar bertentangan dengan spirit UU SJSN agar ada kemandirian BPJS, tidak seperti masa ketika masih sebagai BUMN (ASKES) yang berada di bawah kendali Kementerian.

Lebih lanjut sesuai Instruksi Presiden No. 1 tahun 2022, bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BPJS tidak saja berhubungan dengan Kementerian Kesehatan, namun akan juga berhubungan dengan Kementerian dan Lembaga lainnya.

Apindo juga menyoroti berkurangnya keterlibatan masyarakat dalam bentuk keterwakilan unsur yang berpotensi akan menjadikan BPJS kurang independen.

Hal ini terlihat pada Panitia Seleksi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS yang diusulkan oleh Menteri Kesehatan ke Presiden, tidak lagi oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional).

Apindo menyatakan, pengaturan berdasarkan UU SJSN yang ada saat ini tidak perlu diubah karena sudah tepat. Yakni pembentukan Panitia Seleksi diusulkan oleh DJSN sebagai Lembaga Non Struktural (LNS) yang keanggotaannya dari unsur tripartit plus (Pemberi Kerja, Pekerja, Pemerintah dan Tokoh Masyarakat/Ahli sebagai representasi masyarakat umum). Sehingga lebih menjamin independensi dibandingkan jika diusulkan oleh Kementerian.

Lebih lanjut, ketentuan yang mengatur bahwa BPJS tidak bisa menghentikan kepesertaan tanpa kekuatan hukum yang bersifat tetap dan atas permintaan peserta juga akan menyebabkan ketidakpastian.

Relasi kerja antara pemberi kerja dengan pekerja bisa diakhiri berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak tanpa harus berdasarkan kekuatan hukum yang bersifat tetap. Berdasarkan sejumlah prasyarat yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Baca Juga: Anggaran Kesehatan Bakal Naik Dua Kali Lipat

"Berdasar pertimbangan pertimbangan tersebut, Apindo mengharapkan agar klaster jaminan sosial dikeluarkan dari RUU Omnibus Law Kesehatan agar lebih dapat menjamin pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada pekerja/peserta dan tidak menyebabkan beban biaya tambahan bagi pekerja dan pemberi kerja," ucap Hariyadi.

Apindo berharap penyusunan RUU Kesehatan melalui metode Omnibus Law fokus pada rumpun bidang yang merupakan lingkup kewenangan Kementerian Kesehatan untuk reformasi kesehatan dan tidak menerabas lingkup bidang lainnya.

Jika dimaksudkan untuk perbaikan kebijakan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui Omnibus Law, sebaiknya dilakukan khusus Omnibus Law Jaminan Sosial.

"Walaupun menurut kami rasanya (pembentukan omnibus law jaminan sosial) belum diperlukan pada saat ini," pungkas Hariyadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×