kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,53   14,22   1.56%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Anggaran Subsidi dan Insentif Lebih dari Rp 1.000 Triliun, Bagaimana Efek ke Ekonomi?


Senin, 18 Desember 2023 / 19:19 WIB
Anggaran Subsidi dan Insentif Lebih dari Rp 1.000 Triliun, Bagaimana Efek ke Ekonomi?
ILUSTRASI. Pemerintah menggelontorkan anggaran subsidi dan insentif atau belanja perpajakan lebih dari dari Rp 1.000 triliun di 2023.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah menggelontorkan anggaran subsidi dan insentif atau belanja perpajakan lebih dari dari Rp 1.000 triliun di 2023.

Anggaran yang jumbo ini terdiri dari belanja untuk subsidi energi dan nonenergi sebesar Rp 271,4 triliun, belanja perpajakan Rp 352,8 triliun, insentif properti Rp 3,2 triliun.

Kemudian, ada insentif kendaraan listrik dengan anggaran sebesar Rp 3,5 triliun, kartu prakerja Rp 4,37 triliun, dan subsidi Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp 450 triliun. Sehingga jika ditotal anggaran tersebut mencapai  Rp 1.085,27 triliun.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, dari anggaran jumbo yang dikeluarkan pemerintah tersebut sebenarnya dampaknya minim ke masyarakat.

Misalnya saja terkait anggaran untuk belanja perpajakan. Menurut Eko, insentif ini secara umum dialokasikan untuk  industri-industri yang sebenarnya tidak banyak menyerap tenaga kerja.

“Jadi insentif ini  minim dampaknya ke pendapatan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja,” tutur Eko kepada Kontan.co.id, Senin (18/12).

Baca Juga: Sisa Anggaran Rp 529 Triliun, Pemerintah Perlu Ngebut Belanja di Akhir Tahun

Eko juga menyoroti terkait anggaran subsidi dan kompensasi energi yang biasanya dianggarkan sangat besar. Menurutnya, anggaran besar tersebut tidak sebanding untuk mengentaskan kemiskinan.

Ia bahkan mencatat, tingkat kemiskinan tidak banyak mengalami penurunan dalam beberapa tahun ini, atau angkanya berkisar di 10% atau hanya turun ke 9%.

Menurutnya, fungsi subsidi ‘seolah-olah’ hanya sebagai shock absorber dan bantalan atas risiko daya beli yang semakin melemah seiring melambatnya ekonomi, sehingga ketergantungan terhadap subsidi diperkirakan akan semakin tinggi.

“Ujungnya APBN yang besar tidak mampu mendanai program-program yang berdampak luas bagi perekonomian,” kata Eko.

Adapun total anggaran subsidi dan insentif atau belanja perpajakan ini juga mengalami peningkatan pada 2024, yakni menjadi Rp 1.215,7 triliun. Ini terdiri dari anggaran subsidi (energi dan nonenergi) Rp 282,7 triliun, belanja perpajakan Rp 374,5 triliun, insentif kendaraan listrik Rp  3,5 triliun, dan subsidi KUR Rp 585 triliun.

Eko menambahkan, anggaran yang besar ini dikhawatirkan akan menggeser anggaran lain yang lebih produktif, misalnya saja untuk subsidi energi. Sebab, besar kemungkinan pemerintah akan menjaga anggaran subsidi khususnya untuk BBM agar tidak meningkat saat pemilu. Sehingga anggaran subsidi energi ini diperkirakan bisa meningkat.

Eko menilai, agar program pemerintah bisa berdampak besar dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah, sebaiknya pemerintah menganggarkan program yang besar untuk petani.

Hal ini juga sejalan dengan masyarakat menengah ke bawah di Indonesia yang mayoritas mata pencahariannya dengan bertani.

Baca Juga: Menelisik Anggaran Bansos yang Kerap Kali Naik Saat Tahun Politik

Disamping itu, Eko menilai anggaran KUR yang cukup besar ini penyalurannya masih banyak yang tidak tepat sasaran. Sehingga pemerintah perlu membenahi data penerima UMKM khususnya yang belum layak/mampu membayar bunga dengan normal.

Selain itu, Eko juga menyarankan agar pemerintah lebih memprioritaskan dan mendorong belanja yang sifatnya produktif dan jangka panjang seperti belanja modal. Sebab menurutnya, di situasi politik, desain APBN harus tetap diprioritaskan untuk mendorong ekonomi lebih produktif,

“Jadi bukan hanya sekedar absorber atas lambatnya daya beli masyarakat dengan menambah terus subsidi dan bansos,” katanya.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, anggaran belanja subsidi/insentif dari pemerintah ini memang dapat membantu menjaga daya beli masyarakat, terutama kalangan masyarakat miskin dan rentan miskin.

Disamping itu, program tersebut juga dinilai bisa menjaga inflasi berada di level rendah atau tetap terkendali pada rentang sasaran 3% plus minus 1%.

Meski begitu, Josua memberikan beberapa catatan khususnya pada ketepatan penyaluran subsidi. Ia menilai masih banyak penyaluran subsidi khususnya BBM yang tidak tepat sasaran.

“Subsidi BBM saat ini masih belum targeted dan banyak diterima oleh kalangan mampu,” kata Josua.

Selain itu, permasalahan data penerima juga harus terus diperbaiki Pemerintah, untuk meningkatkan ketepatan penyaluran subsidi, agar efeknya ke masyarakat menengah ke bawah lebih terasa. 

Baca Juga: Pemerintah Salurkan Rp 1.060 Triliun Untuk Bansos Hingga Bantuan Pendidikan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×