kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45892,58   -2,96   -0.33%
  • EMAS1.324.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Alumni Trisakti luncurkan Crisis Center Radikalisme dan Intoleransi


Kamis, 28 November 2019 / 10:27 WIB
Alumni Trisakti luncurkan Crisis Center Radikalisme dan Intoleransi
ILUSTRASI. Alumni Trisaksi launching TUJF Crisis Centre Radikalisme & Intoleransi, Rabu (27/11)


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Intoleransi dan Radikalisme yang merebak beberapa tahun terakhir mengundang kekhawatiran banyak pihak. Selain pemerintah, masyarakat turut bergerak berkontribusi melakukan kontranarasi dan edukasi terkait antiradikalisme dan intoleransi.

Demikian mengemuka dalam dialog kebangsaan bertajuk ‘Sudah Krisis Radikalismekah Indonesia saat Ini?’ yang digelar oleh Alumni Universitas Trisakti Jakarta yang bernaung di bawah Yayasan Taruwara Jaya (TUJF). Pada kesempatan itu turut diluncurkan Crisis Center Radikalisme dan Intoleransi di Jakarta, pada Rabu (27/11).

Baca Juga: Ramai soal PNS jadi influencer pemerintah, ini penjelasan Kominfo

“TUJF Centre ini dibentuk mengingat masih kurangnya atau bahkan mungkin belum adanya   pemahaman definisi arti Radikalisme & Intoleransi, bagaimana penanganannya dan bagaimana masyarakat dapat ikut berperan membantu Pemerintah,” kata Sweeta Melanie, Ketua Pengurus TUJF dalam keterangannya.

Dalam diskusi itu menghadirkan Dewan Pertimbangan Presiden 2014-2019, Sidharto Danusubroto, yang sekaligus Dewan Kehormatan TUJF. Menurutnya, TUJF Crisis Center Radikalisme dan Intoleransi dibentuk karena masih kurangnya pemahaman mengenai dua hal tersebut sehingga dalam penanganannya masyarakat turut berperan membantu pemerintah.

Baca Juga: Terorisme dan radikalisme hambat investasi, ini yang dilakukan pemerintah

“Kegiatan TUJF Crisis Center Radikalisme dan Intoleransi ini akan kami fokuskan di lingkungan kampus dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dahulu,” ucapnya

Ia berharap terbentuknya TUJF Crisis Center bisa memicu lebih banyak partisipasi masyarakat dalam memerangi radikalisme dan intoleransi.

Mengutip data Pusat Pengkajian Islam dan Moderasi Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah tahun 2018 ditemukan permasalahan pada dosen. Diketahui ada 28,10% dosen yang tidak setuju mengajarkan intoleransi. Pada guru diketahui 46,10% setuju dengan radikaslisme. Adapun pada mahasiswa bervariasi bahkan hingga 35% bersikap eksternal dan intoleran.

Baca Juga: Tito Karnavian: Terorisme di Indonesia sulit diatasi jika konflik Timteng masih ada

Pada kesempatan yang sama, pembicara lain Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Hamli menyampaikan dalam menangkal intoleransi dan radikalisme, peran organisasi keagamaan sangat penting terutama di Indonesia terdapat dua organisasi Islam besar, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

Ia menyampaikan dalam pendorong utama kelompok-kelompok intoleran dan radikal dalam menyebarkan paham mereka ialah agama. Hal itu terlihat dari hasil riset Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP) pada 2012 menunjukkan ideologi agama (45,5%) menjadi motif aksi teror yang dilakukan.

Baca Juga: Kementerian Kominfo menerima 77 aduan radikalisme ASN

Selain motif agama, ada pula motif solidaritas komunal (20%) dan mob mentality (12,7%). Untuk menangkalnya, menurut Hamli, yakni dengan menguatkan narasi kebangsaan, moderasi beragama, sosial politik, pengentasan kemiskinan dan bijak dalam bermedia sosial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Accounting Mischief Practical Business Acumen

[X]
×