Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Harga beras di pasar hingga akhir Agustus 2025 masih terpantau tinggi, meski pemerintah berulang kali menyatakan stok aman.
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), Sutarto Alimoeso, menilai persoalan harga beras yang tak kunjung turun bukan sekadar soal pasokan. Melainkan kebijakan pemerintah yang terlambat, tidak adaptif, serta lemahnya pengendalian pasar.
Menurutnya, langkah pemerintah mengelola beras seharusnya tepat waktu, tepat tempat, tepat cara, tepat jumlah, dan tepat harga. Pasalnya produksi beras nasional sangat berfluktuasi sepanjang tahun ini.
Pada Juni sempat defisit, sementara Juli hanya mencatat surplus sekitar 200.000 ton, jumlah yang kecil untuk kebutuhan nasional sekitar 2,7 juta ton per bulan.
Situasi ini dipandang menjadi momentum pemerintah mengambil langkah cepat karena jeda waktu menuju surplus cukup sempit.
Produksi baru akan meningkat kembali pada akhir Agustus - September 2025. Itu berarti ada “ruang kosong” atau periode rawan yang singkat di mana suplai tidak seimbang dengan permintaan.
Baca Juga: Harga Beras Tembus Rp 15.000 per Kg, Ini Biang Keroknya Menurut Zulhas
“Nah ini kalau kita bicara waktu, itu yang sering kita sampaikan bahwa produksi beras kita itu berfluktuasi. Kalau Januari, Februari itu minus, kan gitu. Nanti Maret, April, Mei itu puncaknya adalah Maret, April itu puncaknya produksi. Kemudian Mei turun sedikit. Nah Juni, Juli itu antara cukup dan minus, kan gitu,” ujar Sutarto saat dihubungi Kompas.com, Kamis (28/8/2025).
“Juni kemarin ternyata minus, kemudian Juli ya surplus hanya 200.000 ton itu kan kecil ya. Kemudian baru nanti Agustus, akhir Agustus itu baru masuk kita surplus lagi, September surplus lagi. Ini waktu yang sempit, yang pendek itu, itulah yang pemerintah harus take action,” paparnya.
Di periode kritis inilah, lanjut Sutarto, seharusnya pemerintah hadir dengan kebijakan yang cepat dan tepat, seperti menggelontorkan beras cadangan pemerintah melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) atau menyesuaikan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Namun karena intervensinya terlambat, harga beras terlanjur naik dan sulit untuk kembali turun, meskipun surplus akan hadir lagi di bulan berikutnya.
Lebih jauh, Ia menyoroti kebijakan HET dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Menurutnya, ketika HPP dinaikkan dari Rp 6.000 menjadi Rp 6.500 per kilogram (kg), penggilingan padi otomatis tidak bisa membeli gabah lebih murah dari itu. Artinya, harga naik namun masalahnya HET tidak ikut disesuaikan.
“Akhirnya ya ada yang menjual lebih mahal, rata-rata begitu. Ada juga yang nakal, menurunkan mutu supaya sesuai, itu yang jadi masalah,” bebernya.
Baca Juga: Marak Penipuan Modus Fake BTS, BCA Ungkap Cara Kerjanya