Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para ulama dan ahli hukum Islam (fuqaha) disarankan segera menyusun fatwa mengenai produk tembakau alternatif. Fatwa ini diperlukan agar tidak terjadi kebingungan di masyarakat mengenai hukum menggunakan produk tersebut.
Profesor Antropologi Budaya King Fadh University of Petroleum and Minerals Sumanto Al Qurtuby menyatakan selama ini fatwa ulama baru terbatas pada produk rokok konvensional. “Untuk produk tembakau alternatif belum ada pembahasan spesifik,” kata Sumanto kepada wartawan akhir pekan (6/1).
Selain itu, pembahasan hukum Islam untuk produk tembakau alternatif hanya baru sekilas tentang rokok elektrik (vape). Berbagai pertimbangan fikih yang digunakan juga masih sama dengan produk rokok konvensional. Padahal, di dunia saat ini, telah berkembang juga produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar.
Menurut Sumanto, berbagai organisasi Islam memiliki pandangan berbeda mengenai hukum mengonsumsi rokok konvensional. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan konsumsi rokok konvensional berada dalam hukum antara Makruh dan Haram. MUI hanya tegas mengharamkan aktivitas konsumsi rokok konvensional untuk anak-anak, ibu hamil serta dilakukan di tempat umum.
Adapun Majelis Tarjih dan Tajdid – yang membawahi fatwa – Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara tegas mengharamkan aktivitas konsumsi rokok konvensional. “Sebagian besar dasar pengharaman adalah alasan kesehatan,” ungkap Sumanto.
Adapun Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) – yang membahas masalah fikih umat – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menetapkan hukum mengonsumsi rokok konvensional dalam tiga persepsi yakni Mubah/boleh, Makruh, dan Haram tergantung kondisinya.
Hukum merokok bersifat Mubah saat rokok konvensional tidak membawa keburukan, Makruh jika konsumsi rokok konvensional membawa keburukan kecil, dan Haram apabila rokok konvensional menciptakan keburukan besar. “Ini karena NU melihat rokok pada dasarnya bukan termasuk benda yang membawa keburukan/mudharat,” terang Sumanto.
Menurut Sumanto, perlunya fatwa mengenai produk tembakau alternatif yang spesifik dikarenakan terdapat perbedaan mendasar antara produk tersebut dengan rokok konvensional. Selama ini banyak pihak beranggapan bahwa propduk tembakau alternatif memiliki risiko yang sama dengan rokok konvensional.
Salah satu perbedaan mendasar adalah pada produk tembakau alternatif tidak terdapat proses pembakaran yang memproduksi zat TAR dan karbon monoksida seperti halnya pada rokok konvensional.
Ironisnya, fatwa pengharaman rokok konvensional selama ini umumnya didasarkan kepada anggapan bahwa nikotin merupakan zat adiktif yang berbahaya dan beracun bagi kesehatan. Padahal, berbagai riset terakhir menyebutkan bahwa zat yang membahayakan bagi kesehatan tubuh adalah zat TAR dan karbon monoksida.
Di berbagai negara maju seperti Inggris, keberadaan produk tembakau alternatif terbukti menurunkan bahaya atau risiko bagi konsumennya. Lembaga ternama seperti Public Health England (Inggris), sebuah badan kesehatan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris dalam risetnya menyatakan produk tembakau alternatif mampu menekan atau menurunkan risiko kesehatan hingga 95%. Hasil riset Food and Drug Administration (Amerika Serikat) serta Federal Institute for Risk Assessment (Jerman) juga menemukan hasil yang hampir sama.
"Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan dengan seksama temuan-temuan empiris dan bukti-bukti ilmiah hasil penelitian yang dilakukan oleh sejumlah lembaga riset atau badan otoritas, baik pemerintah maupun non-pemerintah, baik dalam dan luar negeri, yang menyatakan bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok," ujar Sumanto.
Selain itu, ia juga mengatakan, melihat pentingnya perkembangan inovasi produk tembakau alternatif ini, maka tidak ada salahnya jika LBM PBNU mengagendakan agar hal ini dibahas secara serius di Munas (Musyawarah Nasional) Alim-Ulama NU mendatang untuk dicarikan landasan fikih atau hukum Islam-nya dengan mengacu dan mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.
”Sumanto juga menjelaskan keberadaan fatwa tentang produk tembakau alternatif akan memperkuat upaya pemerintah dalam menerapkan pendekatan pengurangan risiko (harm reduction) untuk menurunkan angka pengguna (prevalensi) merokok di Indonesia.
“Keberadaan fatwa ulama ini nantinya bisa berjalan beriringan dengan regulasi yang diterapkan oleh pemerintah tentang produk tembakau alternatif,” ujar Sumanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News