Reporter: Benedictus Bina Naratama | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Bukan hanya buruh, peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2015 juga menyisakan cerita miris soal kesejahteraan para jurnalis.
Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), upah layak reporter dengan status karyawan tetap pada tahun pertama sebesar Rp 6.510.400. Angka ini dianggap layak bagi seorang reporter dalam menjalankan tugas jurnalistiknya lebih profesional. Namun, faktanya banyak media yang menggaji karyawannya tidak sesuai dengan angka tersebut.
"Berdasarkan survei upah Jakarta tahun 2014, rata-rata perusahaan media hanya menggaji karyawannya di kisaran Rp 3 - 4 juta per bulan. Ini terjadi di media online, cetak dan televisi," ujar Ahmad Nurhasim di dalam siaran pers AJI, (1/5).
Selain rendah, kenaikan upah jurnalis di Jakarta sangat rendah, hanya naik sekitar 3%, padahal UMP Jakarta naik 9%. Rendahnya tingkat kesejahteraan jurnalis membuat pekerja media ini mudah tergoda menerima atau meminta amplop yang membahayakan independensi pers. Ahmad melihat upah yang rendah bukan sebagai alasan bagi jurnalis untuk melanggar kode etik, tapi perbaikan upah tidak bisa begitu saja dikesampingkan.
Sesuai dengan riset AJI Jakarta, rasio pengeluaran perusahaan untuk menggaji jurnalis masih rendah. Jawa Pos hanya mengalikasikan 8% dari total pengeluaran untuk gaji jurnalis, Tempo Media Grup sekitar 12,39%, begitu juga dengan MNC Grup dan SCTV Grup yang masih dibawah 10 %. Kondisi ini berbeda dengan negera tetangga, Malaysia misalnya mengalokasikan 18,3%, Singapore Press Holding 29,3% dan Fairfax Media Australia 37,12%.
Tak hanya soal kesejahteraan, jurnalis perempuan juga belum sepenuhnya memperoleh hak sebagai pekerja menurut UU Ketenagakerjaan. Sebanyak 64,02% perusahaan media di tujuh kota tidak memberikan cuti haid, hanya 35,98% saja yang mensosialisasikan peraturan ini. Begitu juga dengan perusahaan yang tidak memberikan cuti melahirkan, ruang menyusui di kantor, dan fasilitas peliputan malam hari.
"Banyak jurnalis perempuan yang tidak mengetahui hak cuti ini ada. Padahal perusahaan kerap menuntut jurnalis bekerja hingga larut malam," jelas Ahmad.
Perlindungan bagi jurnalis pemula juga perlu mendapatkan perhatian. AJI Jakarta menemukan beberapa perusahaan media yang menyita ijasah jurnalis hingga lima tahun. Selain itu perusahaan juga mempersulit jurnalis menjadi karyawan tetap. Akibatnya banyak jurnalis pemula dipaksa bekerja dengan upah, fasilitas, dan jaminan hidup terbatas karena kontrak selama bertahun-tahun. Fakta ini jelas-jelas telah menyalahi UU Ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, dalam momentum Hari Buruh Internasional, AJI Jakarta mendesak perusahaan media menggaji jurnalis dengan standar upah yang layak dan mengakhiri praktik kontrak kerja yang tidak adil dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. AJI Jakarta juga meminta perusahaan media untuk memberikan kompensasi tanbahan bagi pekerja media akibat bertambahnya beban kerja dan segera memenuhi hak-hak jurnalis perempuan.
"Dan kami juga mendesak perusahaan media untuk memberlakukan sistem rekrutmen yang adil bagi jurnalis pemula. Tidak menahan ijasah dengan alasan menjaga loyalitas," tegas Ahmad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News