Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menambah sembilan perusahaan digital asing untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak dari konsumen sebesar 10% atas transaksi pembelian barang/jasa digital dari platform tersebut. Alhasil, harga yang harus dibayar masyarakat semakin mahal.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, sembilan perusahaan itu akan mulai melaksanakan kewajibannya sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) terkait pelaksanaan PPN pada Oktober depan. Sehingga, sejak gelombang pertama SPLN dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) hingga sembilan perusahaan digital yang akan memungut PPN bulan depan yang merupakan gelombang keempat, total ada 37 SPLN.
Kendati demikian, Suryo belum mau menyampaikan nama sembilan perusahaan digital asing tersebut yang resmi menjual barang lebih mahal karena dibandrol pajak konsumen.
“Akan ada sembilan lagi yang kami komunikasikan dengan SPLN di luar negeri, harapan kita semakin banyak semakin baik untuk pemungutan PPN ke depan,” kata Suryo dalam Konferensi APBN Laporan Periode Realisasi Agustus, Selasa (22/9).
Suryo menambahkan, agar Indonesia bisa menunjuk perusahaan digital asing untuk menerapkan PPN, pihaknya perlu melakukan komunikasi yang intens. “Kami harus melalukan komunikasi one on one dengan perusahaan digital asing sehingga mereka tahu benar tahu benar hak dan kewajiban pemungut PPN itu sendir,” ujar Suryo.
Adapun, sebelumnya sudah ada 28 perusahaan digital asing yang resmi menarik PPN. Gelombang pertama yakni, Amazon Web Service Inc., Google Asia Pasific Pte. Ltd., Google Ireland Ltd., Google LLC., Netflix Internasional B.V. dan, Spotify AB. Enam perusahaan tersebut per 1 Agustus lalu sudah menerapkan ketentuan PPN.
Gelombang kedua antara lain, TikTok Pte. Ltd, Facebook Ireland Ltd., Facebook Payments International Ltd., Facebook Technologies International Ltd., Amazon.com Services LLC, Audible, Inc., Alexa Internet, Audible Ltd., Apple Distribution International Ltd., dan The Walt Disney Company (Southeast Asia) Pte. Ltd. Kesepuluh perusahaan ini per 1 September sudah tarik PPN.
Baca Juga: Pemerintah pertahankan akuntabilitas laporan keuangan tetap baik di tengah pandemi
Gelombang ketiga yaitu, Zoom Video Communications, Inc., Twitter Asia Pasific Pte. Ltd., Twitter International Company, dan PT Shopee International Indonesia, LinkedIn Singapore Pte. Ltd., McAfee Ireland Ltd., Microsoft Ireland Operations Ltd., Mojang AB, Novi Digital Entertainment Pte. Ltd., PCCW Vuclip (Singapore) Pte. Ltd., Skype Communications SARL, PT Jingdong Indonesia Pertama. Gelombang ketiga ini akan menarik PPN sebesar 10% dari konsumen per 1 Oktober 2020.
Adapun penunjukkan SPLN tersebut mengacu dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 43/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Belum Berani Tarik PPh Perusahaan Digital Asing
Meskipun PPN atas transaksi barang/jasa digital asing sudah ditetapkan, tapi pemerintah masih belum berani menarik pajak penghasilan (PPh) perusahaan digital asing yang telah memetik manfaat ekonomi dari masyarakat Indonesia.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhammad Misbakhun menyayangkan langkah pemerintah yang tidak bisa menangkap pergeseran subjek dan objek pajak yang berevolusi seiring dengan perkembangan zaman. Menurutnya, Kemenkeu belum mengoptimalkan PMSE.
Meski PPN sudah ditetapkan, Misbakhun mengatakan kebijakan tersebut dirasa tidak cukup. Anggota Fraksi Partai Golkar itu menyampaikan, seharusnya pemerintah berani menarik PPh atas perusahaan digital asing. Hal ini mempertimbangkan besarnya manfaat ekonomi yang telah dihasilkan dari masyarakat Indonesia.
Kata Misbakhun, pemerintah tidak perlu menunggu konsensus terkait pajak penghasilan dari the Organization for Economic Co-opration and Development (OECD) atau G20. “Kalau situasi saat pandemi seperti ini, yang diutamakan itu agenda kepentingan kita, bukan agenda bersama,” kata Misbakhun kepada Kontan.co.id, Minggu (20/9).
Selanjutnya: Meski ada pandemi, pelaporan keuangan tahun 2020 diklaim tak turunkan akuntabilitas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News