Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Markus Sumartomjon
KONTAN.CO.ID - JAKARTA.. Pemerintah telah berulangkali merevisi Anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), bahkan ketika payung hukumnya sudah disahkan. Kondisi ini membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir dana PEN disalahgunakan.
Anggaran PEN sendiri sejak pertama kali bergulir pada April 2020 sudah empat kali berubah. Pertama sebesar Rp 150 triliun. Selanjutnya dalam dua kali rapat tertutup pemerintah dengan dengan Komisi XI DPR RI Mei 2020, anggaran program PEN membengkak jadi Rp 318,09 triliun, terakhir hingga Rp 677,2 triliun.
Perubahan anggaran tersebut membuat pemerintah berulang kali mengubah aturan. Terakhir adalah pemerintah mengajukan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020. Sebab, anggaran program PEN membuat defisit APBN melebar hingga 6,34% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga: Anggaran program PEN membengkak, BPK mengendus potensi penyalahgunaan
Anggota BPK Achsanul Qosasi mengingatkan ada dua potensi penyalahgunaan dana program PEN. Pertama, anggaran penempatan dana pemerintah di perbankan sebesar Rp 87,59 triliun. Karena skema yang dipakai adalah penempatan, maka bank yang mendapat kucuran dana tersebut wajib mengembalikan stimulus tersebut plus bunga.
"Jadi harus mitigasi sejak awal dan jaminan bisa berupa aset bank," katanya kepada KONTAN," Kamis (11/6).
Baca Juga: Pemerintah siapkan Rp 42,07 triliun untuk dukung BUMN terdampak pandemi covid-19
Kedua, ia mempertanyakan dana talangan dan penyertaan modal negera ke BUMN. Sebab ada BUMN penerima yang sebelum pandemi korona dalam kondisi kinerja kurang bagus. Contohnya Garuda Indonesia.
"Jangan sampai Covid-19 justru hanya menjadi alasan," tuturnya. Ia pun menyarankan pemerintah bersama wakil rakyat ikut mengawal pelaksanaan kucuran dana raksasa tersebut.
Staf khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin bilang perubahan postur anggaran PEN tersebut mengikuti perkembangan dan kebutuhan yang juga bergerak secara dinamis. Adapun kondisi ekonomi saat ini terjadi karena pandemi Covid-19 yang cenderung menyebabkan ketidakpastian.
Ini berbeda dengan situasi saat krisis tahun 2008 maupun 1998. "Hampir semua negara merevisi beberapa kali, karena situasi yang dihadapi tidak bisa diprediksi dan sangat dinamis dan target pemerintahan untuk memastikan kebutuhan untuk penanganan Covid-19 terlaksana baik," ujar Masyita kepada KONTAN, Kamis (11/6).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News