Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus Muhammad Haniv angkat bicara terkait kasus suap yang menyeret Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum DJP Handang Soekarno (HS).
Nama Haniv disebut dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Senin (13/2) lalu. Dakwaan itu ditujukan kepada Ramapanicker Rajamohanan Nair alias Rajesh selaku Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP). Rajesh didakwa menyuap Handang sebesar US$ 148.500 dari total janji Rp 6 miliar agar beban pajaknya diringankan.
Dalam surat dakwaan, upaya penyuapan bermula dari kesulitan perusahaan Rajesh, PT EKP dalam hal pajak pada kurun 2015-2016. Di antaranya, pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), surat tagihan pajak pertambahan nilai (STP PPN), penolakan pengampunan pajak, pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) dan pemeriksaan bukti permulaan.
Haniv, dalam surat dakwaan, disebut memberikan saran kepada Rajesh untuk mengajukan permohonan pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada DJP melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Enam Soniman Budi Raharjo.
Kepada KONTAN, Haniv mengatakan bahwa selama ini tidak ingin angkat bicara lantaran kasus ini melibatkan ipar Presiden Jokowi, Arif Budi Sulistio. Arif adalah rekan sekantor Rajesh. Menurut Haniv, kunci permasalahan ini sebenarnya ada di HS dan Rajesh.
“Kunci ada di Mohan (Rajesh) dan HS. Dan gak tahu ya Pak Dirjen (Ken Dwijugiasteadi) ikut campur atau tidak,” kata Haniv kepada KONTAN, Jumat (18/2) malam.
Haniv mengakui memang dirinya pernah sekali waktu bertemu dengan Rajesh. Namun pertemuan tersebut bukan pertemuan yang khusus. Dari pertemuan itu, Haniv mendapatkan ada prosedur yang dilanggar dalam penerbitan STP PT EKP oleh KPP PMA Enam.
“WP (Wajib Pajak/Rajesh) ketemu saya sekali saja. Saya cek dulu STP salah atau tidak. Intinya saya kerja berdasarkan aturan. Yang saya lalukan pokoknya misal WP ditetapkan pajak yang salah, saya buat pembetulan. Saya luruskan karena ada prosedur yang terlewati,” jelasnya.
Kesalahan prosedur penerbitan STP ini menurut Haniv lantaran pejabat pajak terburu-buru dalam menggali potensi pajak dari WP sehingga tidak sesuai prosedur. Haniv mengatakan, STP diterbitkan tidak sesuai prosedur, WP berhak untuk tidak membayar pajak yang ditagihkan.
“Tugas saya adalah meluruskan persoalan, tetapi sepertinya saya jadi yang disudutkan,” ujarnya.
Ia menambahkan, WP badan (perusahaan) yang mengalami masalah serupa dengan PT EKP dan mengutus perwakilan perusahaan ke kantornya tidak hanya sekali ini saja. “Ini berlaku untuk semua (pembetulan STP). Bukan (hanya untuk) PT EKP saja,” katanya.
Haniv menegaskan, baik Arif Budi Sulistio dan Rajesh tidak memiliki komunikasi langsung dengannya. Malah, dirinya mempertanyakan, “Arif ada komunikasi dengan Pak Dirjen (Ken Dwijugiasteadi) tidak?” Ucapnya.
Dalam dakwaan, Rajesh disebut merencanakan pertemuan dengan Handang pada 20 Oktober 2016 di Restoran Nippon di Hotel Sultan, Jakarta Pusat. Rajesh menjanjikan pemberian uang 10% dari nilai STP PPN yakni Rp 52,36.
Usai bertemu, lewat whatsapp Rajesh bilang kepada HS bahwa uang tersebut sudah termasuk jatah untuk Haniv, ”Pak soal max 6 termasuk Hnf mohon diselesaikan terimakasih," tulis Rajesh kepada HS.
Soal hal ini, Haniv menanggapi bahwa pesan whatsapp itu harus diklarifikasi,“Ini kan whatsapp-nya menyebutkan saya dapat bagian. WA kan harus diklarifikasi jangan asal-asal saja. Itu tidak benar,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News