Reporter: Barly Haliem, Teodosius Domina, Yuwono Triatmodjo | Editor: Yuwono triatmojo
JAKARTA. Kasus dugaan suap pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia dengan terdakwa Handang Sukarno dan Ramapanicker Rajamohanan Nair alias Rajesh, memasuki babak baru. Sejumlah nama orang penting disebut-disebut dalam perkara ini.
Selain Muhammad Haniv, Kepala Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus, nama Arif Budi Sulistyo juga disebut-sebut dalam berkas dakwaan Rajesh yang dibacakan jaksa, Senin (13/2). Arif diduga adalah nama ipar Presiden Joko Widodo.
Ali Fikri, jaksa penuntut umum dalam perkara ini, menyatakan akan mengungkap keterlibatan seluruh pihak dalam perkara ini. Termasuk dugaan keterlibatan nama Arief dan Haniv. “Ikuti saja sidang di pengadilan,” kata Ali kepada KONTAN, usai persidangan, Senin (13/2).
Selain dua nama itu, seorang sumber KONTAN, mengatakan, KPK juga sudah memeriksa empat kali seorang pria berinisial RPM terkait perkara suap ini. Pria yang menjabat sebagai sebagai Direktur PT Bejana Baja disebut-sebut sebagai kolega bisnis Arif. ”Mereka berteman,” kata sumber KONTAN. Berdasarkan berkas dakwaan, selain Arif dan Haniv, ada pula nama Rudi P Musdiono.
Sebagai catatan, Rajesh didakwa menyuap Handang Sukarno sebesar US$ 148.500 dari total janji Rp 6 miliar. Dalam surat dakwaan terungkap bahwa upaya penyuapan bermula dari kesulitan PT EK Prima Ekspor Indonesia (PT EKP) dalam hal pajak pada kurun 2015-2016. Di antaranya, pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), surat tagihan pajak pertambahan nilai (STP PPN), penolakan pengampunan pajak, pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) dan pemeriksaan bukti permulaan (bukber).
Soal kewajiban tagihan pajak PPn misalnya, perusahaan Rajesh merasa keberatan lantaran ditagih membayar pajak pembelian kacang mete gelondong dengan nilai sekitar Rp 36 miliar untuk tahun 2014 dan Rp 22 miliar untuk 2015. Ditanggapi oleh Johnny Sirait Kepala KPP Enam, perusahaan Rajesh dihimbau mengikuti tax amnesty (TA) saja.
Usaha mengikuti TA kandas lantaran ada tunggakan. Johnny lantas malah mengusulkan kepada kantor DJP Jakarta Khusus agar melakukan pemeriksaan bukti permulaan lantaran ada indikasi tindak pidana perpajakan. Sebab, PT EKP diduga menyalahgunakan faktur fiktif dan mengekspor secara tidak benar.
Singkat cerita, kepala kantor DJP Jakarta Khusus menyatakan permasalahan PT EKP tidak bisa diselesaikan sehingga terdakwa Rajesh disarankan menemui Handang Sukarno yang dianggap punya jabatan lebih tinggi. Handang mengusulkan STP diselesaikan lebih dulu.
Untuk penyelesaian STP ini, dilakukan pertemuan pada 20 Oktober 2016 di Nippon Khan Hotel. "Dalam pertemuan tersebut terdapat janji akan memberikan uang dengan jumlah 10% dari total nilai STPN senilai Rp 52.330.649.000 yang akhirnya setelah negosiasi terdakwa dan Handang Soekarno, uang yang akan diberikan oleh terdakwa kepada Handang Soekarno dibulatkan menjadi 6 miliar rupiah," kata Ali Fikri jaksa dari KPK.
Usai bertemu, lewat whatsapp Rajesh juga bilang uang tersebut sudah termasuk jatah untuk Muhammad Haniv juga. "Pak soal max 6 termasuk Hnf (Haniv) mohon diselesaikan terimakasih," tulis Rajesh kepada Handang.
Beberapa saat setelah itu, Haniv lantas menerbitkan pembatalan STP untuk PT EKP.
Pada 18 November 2016, Rajesh pun menyiapkan uang yg diminta Handang. Pada tahap pertama Handang meminta terlebih dulu Rp 2 milyar. Namun karena setelah disiapkan harus dimuat dalam 2 koper besar, Handang meminta untuk ditukar menjadi dollar Amerika Serikat.
Uang tersebut diserahkan pada 21 November 2016 yang berujung pada operasi tangkap tangan oleh KPK.
Ancaman pidana yang dikenakan terhadap bos PT EKP ini ialah pasal 5 ayat 1 huruf a dan UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Ancaman hukumannya ialah kurungan 1 sampai 5 tahun serta denda Rp 50 juta hingga Rp 250 juta. Atau pasal 13 dari undang-undang yang sama, dengan ancaman hukuman maksimal 3 tahun.
Ditemui usai persidangan, kuasa hukum Rajesh menandaskan bahwa kliennya merasa dipersulit. Sementara soal janji aliran dana, termasuk untuk Haniv, fakta-faktanya akan dibuka di persidangan. "Kan kita minta restitusi tapi justru kita dihadapkan pada hal-hal yang tidak masuk akal. Contohnya ada STP PPN 2 tahun padahal tahun-tahun sebelumnya tidak ada STP PPN itu. Ada juga bukper yg ada kaitannya dng STP itu," kata Samsul Huda, kuasa hukum Rajesh.
Muhammad Haniv menyatakan tidak khawatir namanya disebut-sebut dalam surat dakwaan karena merasa tidak tidak terlibat dalam perkara ini. "Saya tidak ada kekhawatiran sama sekali," kata Haniv.
Sampai berita ini diturunkan, KONTAN belum berhasil menghubungi Arif dan Rudi untuk mengklarifikasi masalah ini.
Berikut adalah kronologi kasus dugaan penyuapan yang dilakukan Rajesh, sesuai dengan dakwaan jaksa.
Pada halaman 5 dakwaan Jaksa disebutkan, pencabutan tersebut berdasarkan instruksi Jhonny Sirait karena adanya dugaan PT EKP tidakmenggunakan PKP sesuai ketentuan sehingga ada indikasi restitusi yang diajukan juga tidak sebagaimana mestinya.
Selanjutnya atas saran Muhammad Haniv, selaku Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, pada tgl 21 September 2016 terdakwa menyampaikan permohonan pembatalan STP PPN kepada Dirjen Pajak melalui Kepala KPP PMA enam, karena terdakwa tidak setuju apabila para pedagang pengumpul menjadi PKP sehingga seharusnya tidak ada PPN yang terutang dan pembebanan pembayaran PPN secara renteng.
Pada tanggal 22 September 2016, Muhammad Haniv bertemu dengan Hadang Soekarno, kemudian Muhammad Haniv menyampaikan keinginan Arif Budi Sulistyo supaya dipertemukan dengan Ken Dwijugiasteadi di lantai 5 gedung Dirjen Pajak.
Pada tanggal 27 September 2016, terdakwa, Ramapanicker Rajamohanan Nair (Rajesh) bersama Rudi P. Musdiono menemui Muhammad Haniv dan Hilman Flobianto, selaku Kepala Bidang Keberatan dan Banding kanwil DJP Jakarta Khusus. Saat itu terdakwa menyampaikan bahwa PT EKP sedang mengajukan permohonan pembatalan terhadap STP senilai Rp 52.364.730.649 masa tahun pajak 2014 dan senilai Rp 26.440.221.909 masa tahun pajak Desember 2015 yang dikeluarkan oleh KPP PMA enam, dan juga akan mengajukan tax amnesty namun terkendala adanya STP PPN tersebut, yang ditanggapi oleh Muhammad Haniv akan terlebih dahulu melihat STP PPN-nya.
Pada tanggal 28 September 2016, karena permasalahan pajak PT EKP tidak dapat diselesaikan Muhammad Haniv di Kanwil DJP Jakarta Khusus, kemudian Rudi P. Mudiono memberi saran kepada terdakwa agar menemui Hendang Soekarno yang jabatannya dianggap lebih tinggi di Ditjen Pajak guna meminta bantuan menyelesaikan persoalan STP.
Lalu pada halaman 8 dakwaan Jaksa tertulis, mengirimkan pesan melalui whats app "Om kamis malam minta waktu ketemu om... kalo pas longgar". Yang dijawab Wahono Saputro dengan mengatakan,"Ok siap kalo ndak siang, saya menghadap ke kantor situ bos".
Bahwa pada tanggal 20 Okt 2016 jam 07:34:37 WIB terdakwa menanyakan rencana pertemuan dengan Handang Soekarno di Nippon Khan Hotel Sultan Jakarta melalui pesan Whats app, "Kita ketemu di Nippon kan jam 7 mlm nanti ya pak". Dijawab oleh Handang Soekarno, "baik pak siap. Ini saya lagi men schedule jadwal biar sama dengan pak Wahono nya".
Selain itu, pada jam 07:38:21 WIB, Wahono Saputro menanyakan kepada Handang Soekarno mengenai rencana pertemuan dengan terdakwa dan dijawab oleh Handang Soekarno "Jadi om... orangnya ngajak jam 19.00 bisa? di Nippon Khan". Wahono Saputro menjawab, "Mohon melalui situ saja Boss, nanti kalau mau selesai baru ketemu saya Boss, tks".
Selanjutnya Wahono Saputro juga menginformasikan kepada Handang Soekarno, bahwa permasalahan perpajakan terdakwa juga telah disampaikan Arif Budi Sulistyo kepada Muhammad Haniv melalui komunikasi whats app dengan mengatakan "Itu Arif ternyata kawannya pak Haniv, mas Handang, Jadi Arif juga sudah ngomong ke pak Haniv masalah mohon ini".
Pada malam harinya sekitar jam 19.00 WIB, terdakwa bersama Siswanto bertemu dengan Handang Soekarno di Restoran Nippon Khan Hotel Sultan Senayan Jakarta. Pada pertemuan tersebut terdakwa menyampaikan kembali kepada Handang Sorkarno agar permasalahan perpajakan dipercepat penyelesaiannya karena perusahaannya akan ikut tax amnesty. Dalam pertemuan tersebut, terdakwa menjanjikan akan memberikan uang dengan jumlah total 10% dari total nilai SPT PPN senilai Rp 52.364.730.649. Akhirnya setelah bernegosiasi, terdakwa dan Handang Soekarno bersepakat bahwa uang yang akan diberikan oleh terdakwa kepada Handang Soekarno dibulatkan menjadi Rp 6 miliar.
Selanjutnya setelah pertemuan tersebut, pada sekitar pukul 20:58:15 WIB, terdakwa menegaskan bahwa uang yang akan diserahkan terdakwa sebesar Rp 6 miliar, tersebut sudah termasuk untuk Muhammad Haniv sebagaimana isi pesan komunikasi whats app terdakwa kepada Handang Soekarno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News