Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dari 9 juta buruh migran yang dicatat Bank Dunia melalui laporan terbarunya bertajuk Pekerja Global Indonesia, sebanyak 4,3 juta buruh migran ilegal alias tak penuhi prosedur resmi.
Ridwan Wahyudi, mantan Buruh Migran yang hadir dalam acara Indonesian Global Workers: Juggling Opportunities and Risks, Selasa (28/11) di Jakarta mengatakan, masalah biaya dan prosedur yang rumit jadi alasan utama mengapa masih banyaknya buruh migran non-prosedural ini.
"Utamanya karena biayanya mahal dan prosesnya sangat lama, makanya banyak teman-teman buruh migran lebih memilih berangkat sendiri," kata Ridwan.
Laporan Bank Dunia tersebut menyatakan, secara prosedural, ada 22 tahap administratif yang harus dilalui calon buruh migran sebelum bermigrasi. Seluruh proses tersebut bisa makan waktu tiga bulan lebih. Sementara jika berangkat mandiri waktu yang dihabiskan tak lebih dari dua bulan.
Sementara soal biaya, rata-rata buruh migran prosedural bisa bisa lebih tinggi 53% dibandingkan dengan non-prosedural, dengan nominal selisih mencapai Rp 3 juta.
"Berangkat sendiri pun sebenarnya ada perusahaan penyalur, jadi misalnya jika buruh migran tak lulus uji bahasa tapi tetap diberi sertifikat, tetap diberangkatkan. Memang dipaksakan," sambung Ridwan.
Selain soal biaya dan prosedur, Vivi Alatas, Ekonom Senior Bank Dunia di Indonesia sebut terdapat pula masalah soal distribusi informasi.
Katanya, hanya ada 60% buruh migran yang mengetahui bagaimana mendapat pekerjaan di luar negeri melalui prosedur resmi.
"Jadi masih ada 40% yang tidak tahu, dan akibatnya kalau dipaksakan, mereka tidak tahu apa hak-hak mereka, gaji mereka berapa, potongan dari penyalur berapa," Kata Vivi dalam kesempatan yang sama.
Dia contohkan, misalnya di Malaysia, lebih dari seperempat pekerja migran Indonesia adalah lelaki yang bekerja di pertanian atau perusahaan konstruksi merupakan buruh migran ilegal.
Hasilnya, ada 22% buruh migrab lelaki di Malaysia yang selalu terlambat gajinya. Sedangkan 12% lainnya mengalami gaji tertahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News