kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menghitung potensi jendela kedua ampunan pajak


Senin, 20 November 2017 / 18:09 WIB
Menghitung potensi jendela kedua ampunan pajak


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menandatangani revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118/2016. Revisi PMK ini membuka jendela ampunan bagi yang tidak ikut amnesti pajak dan bagi peserta amnesti pajak untuk melaporkan seluruh hartanya yang masih tersembunyi.

Mereka tidak akan dikenai sanksi asalkan mengungkapkan sendiri harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan (2015) bagi yang bukan peserta amnesti pajak, atau belum diungkapkan dalam SPh bagi peserta amnesti pajak.

Untuk menjalankan beleid ini, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan, mengatakan, pihaknya tengah meneliti data harta yang ada. Data tersebut dilihat dari hasil amnesti pajak kemarin. Sebab, masih banyak harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan maupun dalam Surat Pernyataan Harta (SPH).

Ia melanjutkan, salah satu cara menghitung potensi dari jendela ampunan pajak kedua ini adalah dengan mengurangi realisasi amnesti pajak dengan target. “Itu salah satu caranya untuk mengetahui kira-kita masih ada berapa lagi yang belum,” ucapnya di kantor Kemkeu, Jakarta, Senin (20/11).

Berdasarkan catatan KONTAN, hingga batas waktu untuk merealisasikan repatriasi atau akhir Maret 2017, dana yang sudah masuk ke dalam negeri dalam rangka repatriasi sebesar Rp 128,3 triliun dari komitmennya yang sebesar Rp 147 triliun.

Dengan demikian masih ada Rp 18,7 triliun dana yang tidak masuk laporan realisasi repatriasinya. “Dana repatriasi itu kalau tidak jadi masuk bisa dipakai PP 36. Gap itu bisa pakai PP 36. Sudah diatur,” ujar dia.

Namun demikian, target repatriasi yang dipatok pemerintah adalah Rp 1.000 triliun.

Sementara itu, untuk realisasi deklarasi dalam amnesti pajak sendiri tercatat sebesar Rp 4.734 triliun atau melampaui target yang sebesar Rp 4.000 triliun. Realisasi ini termasuk deklarasi dalam negeri yang sebesar Rp 3.698 triliun dan deklarasi luar negeri sebesar Rp 1.036 triliun.

Selain data amnesti pajak, Ditjen Pajak menurut Yon juga memiliki data dari pihak ketiga. “Ada data yang kami miliki, yakni dari hasil amnesti pajak yang lalu dan ada yang tidak kami miliki langsung, yakni data pihak lainnya,” terangnya.

Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, dengan adanya jendela ampunan ini, penerimaan pajak tahun ini bisa lebih optimistis mendekati target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 yang sebesar Rp 1.283,57 triliun.

Sebelumnya, ia memprediksi penerimaan pajak tahun 2017 bisa finish di 92,44% dari target dengan skenario optimistis atau sebesar Rp 1.186,55 triliun.

Skenario optimistis itu artinya, penerimaan bulan November dan Desember masing-masing harus mencapai Rp 122,72 triliun dan Rp 205,83 triliun.

“Jika berhasil 1,5 bulan ini, karena waktu mepet dan mesti prioritas, apalagi sifatnya himbauan dulu, seharusnya bisa ditargetkan 3% hingga 5%. Jadi, bisa 95% hingga 97%,” kata Yustinus kepada KONTAN.

Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa Ditjen Pajak dalam hal ini harus memiliki kesiapan data akurat sehingga ada target yang terukur.

Ia mengatakan, apabila data akurat cukup banyak dan bisa digunakan untuk bargaining, seharusnya akan ada peningkatan penerimaan karena skemanya tak perlu lagi audit, tetapi cukup membetulkan atau menyampaikan SPT PPh Final.

“Sejauh data akurat dan tak ada dispute, seharusnya bisa segera dilakukan pembetulan/penyampaian SPT. Maka, ini batu uji akurasi data dan kemampuan persuasi/memenangkan opini,” ucapnya.

Akan tetapi, bila dengan skenario pesimistis, penerimaan pajak akan tercapai 91,77% dari target pada tahun ini atau sebesar Rp 1.177,93 triliun.

Oleh karena itu, menurut dia, kebijakan ini harus secara masif melibatkan sebanyak mungkin pihak yang dipercaya oleh masyarakat, seperti asosiasi, tokoh, kepala daerah, dan lain-lain.

“Sebenarnya kebijakan ini jika sosialisasi dan kemasannya tepat kan bagus buat mendorong kepatuhan,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×