kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dirjen pajak: Ada kesalahan persepsi atas royalti


Rabu, 06 September 2017 / 14:40 WIB
Dirjen pajak: Ada kesalahan persepsi atas royalti


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - Penulis buku Tere Liye lewat laman Facebook-nya mengumumkan sudah memutuskan kontrak dengan dua penerbit besar Indonesia. Alasannya, pemerintah selama ini tidak adil terhadap profesi penulis buku karena dikenakan pajak lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya.

Hal ini telah mendapat respon dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu). Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, anggapan Tere yang menilai bahwa pajak memberatkan penulis buku adalah kesalahan persepsi. "Tidak (memberatkan) dia (Tere) salah persepsi," ucapnya di Gedung DPR RI, Selasa (6/9) usai rapat bersama Komisi XI.

Pasalnya, menurut Ken, pajak untuk penulis itu dipotong 15% dari royalti. PPh pasal 23 atas royalti penulis buku itu pun bisa dikreditkan.

“Misalnya, ini buku dijual di Gramedia harga Rp 100, si penulis dapat royalti Rp 10, penghasilannya ya Rp 10. Trus dikenai 15%, nanti dikreditkan lagi di SPT-nya. Bisa diklaim, bisa lebih bayar,” kata Ken.

Ia melanjutkan, pajak itu pun bersifat final sehingga tidak ada pemungutan yang berulang-ulang, “Itu final. 15% dari royalti bukan dari omzet bukunya,” tegasnya.

Ia mengatakan, dengan demikian PPh 23 untuk penulis ini tidak berat apabila bisa menghitungnya. “Anda ada penghasilan Rp 10 perak dipajaki 10% kan cuma 1 perak,” kata Ken.

Terkait PPh 23 atas royalti penulis buku ini, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, hal ini menjadi kejam bagi penulis karena umumnya jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan sehingga cukup kecil.

Ia menerangkan, jika tarif 15% berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp 150 juta-Rp 250 juta, maka sang penulis setidaknya setara mendapat penghasilan jual buku setara Rp 1,5 miliar-Rp 2,5 miliar.

“Andai satu buku harganya Rp 100.000, maka lebih kurang harus menjual 15.000 eksemplar. Fantastis! Karena jumlah potongan pajak lebih besar dibanding kewajiban pajak tahunan, maka para penulis berpotensi lebih bayar di akhir tahun,” kata Yustinus lewat pesan tertulisnya yang dikutip KONTAN, Rabu (6/9).

Yustinus melanjutkan, dengan begitu tarif PPh pemotongan untuk royalti penulis sebaiknya diturunkan agar lebih fair, masuk akal, dan membantu cash flow penulis. Apalagi pembayaran royalti biasanya berkala secara semesteran. “Di sinilah isu fairness relevan. Hak mengkreditkan sebenarnya sudah bagus, terlebih jika diimbangi restitusi yang lebih mudah dan cepat,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×