kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

World Bank Perkirakan Harga Komoditas akan Anjlok hingga Tahun 2026


Kamis, 31 Oktober 2024 / 13:09 WIB
World Bank Perkirakan Harga Komoditas akan Anjlok hingga Tahun 2026
ILUSTRASI. World Bank memperkirakan harga komoditas global akan jatuh ke level terendah dalam lima tahun pada tahun 2025 di tengah kelebihan pasokan minyak. REUTERS/Johannes P. Christo


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia (World Bank) memperkirakan harga komoditas global akan jatuh ke level terendah dalam lima tahun pada tahun 2025 di tengah kelebihan pasokan minyak sehingga kemungkinan akan membatasi dampak harga bahkan dari konflik yang lebih luas di Timur Tengah. Ajloknya harga komoditas diperkirakan akan berlanjut hingga tahun 2026.

Kendati begitu, harga komoditas secara keseluruhan akan tetap 30% lebih tinggi dibandingkan lima tahun sebelum pandemi Covid-19.

Pada tahun 2024, pasokan minyak global diperkirakan akan melebihi permintaan rata-rata 1,2 juta barel per hari, kelebihan pasokan yang hanya pernah terlampaui dua kali sebelumnya selama penutupan terkait pandemi pada 2020 dan jatuhnya harga minyak pada tahun 1998.

Baca Juga: Bank Dunia Luncurkan Strategi Baru untuk Tingkatkan Peluang Ekonomi bagi Perempuan

Kelebihan pasokan baru ini sebagian mencerminkan perubahan besar di China, di mana permintaan minyak pada dasarnya telah mendatar sejak tahun 2023 di tengah perlambatan produksi industri dan peningkatan penjualan kendaraan dan truk listrik yang menggunakan gas alam cair (LNG).

Selain itu, beberapa negara yang bukan bagian dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau sekutunya (OPEC+) diperkirakan akan meningkatkan produksi minyak. OPEC+ sendiri mempertahankan kapasitas cadangan yang signifikan, berjumlah 7 juta barel per hari, hampir dua kali lipat jumlah pada waktu terjadinya pandemi pada tahun 2019.

Dari tahun 2024 hingga 2026, harga komoditas global diperkirakan akan anjlok hampir 10%. Harga pangan global diperkirakan akan turun 9% tahun ini dan tambahan 4% pada tahun 2025 sebelum mencapai titik stabil. 

Hal tersebut masih akan membuat harga pangan hampir 25% di atas tingkat rata-rata dari tahun 2015 hingga 2019. Harga energi diperkirakan turun sebesar 6% pada tahun 2025 dan tambahan 2% pada tahun 2026. Turunnya harga pangan dan energi akan memudahkan bank sentral untuk mengendalikan inflasi. 

Namun, eskalasi konflik bersenjata dapat mempersulit upaya tersebut dengan mengganggu pasokan energi dan menaikkan harga pangan dan energi.

"Harga komoditas yang turun dan kondisi pasokan yang lebih baik dapat menjadi penyangga terhadap guncangan geopolitik," ujar Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia, Indermit Gill dalam keterangan resminya, Selasa (29/10).

Meski begitu, menurutnya hal tersebut tidak akan banyak membantu meringankan dampak harga pangan yang tinggi di negara-negara berkembang, yang inflasi harga pangannya dua kali lipat dari inflasi di negara-negara maju.

Baca Juga: IMF: China Tak Bisa Lagi Andalkan Ekspor untuk Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi

"Harga yang tinggi, konflik, cuaca ekstrem, dan guncangan lainnya telah menyebabkan lebih dari 725 juta orang mengalami kerawanan pangan pada tahun 2024,” katanya.

Selama setahun terakhir, konflik di Timur Tengah telah membawa volatilitas yang signifikan pada harga minyak, terutama karena kekhawatiran bahwa infrastruktur minyak dan gas dari produsen komoditas utama dapat rusak jika konflik meningkat. 

Dengan asumsi konflik tidak meningkat, harga rata-rata tahunan minyak mentah Brent diperkirakan akan turun ke level terendah dalam empat tahun sebesar US$ 73 epr barel pada tahun 2025, turun dari US$ 80 per barel tahun ini.

Namun, laporan tersebut juga menilai apa yang mungkin terjadi jika konflik meningkat, khususnya jika mengakibatkan pengurangan pasokan minyak global skala sebesar 2% atau 2 juta barel per hari pada akhir tahun ini, gangguan yang terjadi pada perang saudara Libya pada tahun 2011 dan perang Irak pada tahun 2003. 

Jika gangguan serupa terjadi lagi, harga Brent awalnya akan naik tajam hingga mencapai puncaknya di $92 per barel. Namun, produsen minyak yang tidak terpengaruh oleh konflik dapat dengan cepat menanggapi harga yang lebih tinggi dengan meningkatkan produksi minyak. 

Akibatnya, lonjakan harga bisa berlangsung relatif singkat, dengan harga minyak rata-rata US$ 84 per barel pada tahun 2025. Itu masih akan menjadi 15% di atas perkiraan dasar untuk tahun 2025 tetapi hanya 5% di atas rata-rata tahun 2024.

“Kabar baiknya adalah ekonomi global tampaknya berada dalam kondisi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya untuk mengatasi guncangan harga minyak yang signifikan,” kata Wakil Kepala Ekonom Grup Bank Dunia dan Direktur Prospects Group, Ayhan Kose.

Ayhan mengarakan, kondisi tersebut membuka beberpa peluang langka bagi para pembuat kebijakan di negara-negara berkembang.

Pertama, penurunan harga komoditas dapat memberikan pelengkap yang bermanfaat bagi kebijakan moneter untuk mengembalikan inflasi ke target sasaran.

Kedua, para pembuat kebijakan memiliki kesempatan untuk mengurangi subsidi bahan bakar fosil yang mahal.

Di sisi lain, harga emas rata-rata pilihan populer bagi investor yang mencari safe haven diperkirakan akan mencapai rekor tahun ini, naik 21% dari harga rata-rata pada tahun 2023. 

Emas memiliki status khusus di antara aset, yang sering kali naik harganya selama periode ketidakpastian geopolitik dan kebijakan, termasuk konflik. 

Selama dua tahun ke depan, harga emas diperkirakan akan tetap 80% lebih tinggi dari harga rata-rata dalam lima tahun sebelum pandemi Covid-19, hanya turun sedikit. 

Harga logam industri diperkirakan akan tetap stabil pada tahun 2025 hingga 2026, karena pelemahan di sektor properti China diimbangi oleh kondisi pasokan yang ketat dan meningkatnya permintaan untuk beberapa logam dari transisi energi. Namun, hasil pertumbuhan yang tidak terduga di China dapat memicu volatilitas di pasar logam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×