Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
Meski demikian, Josua mengingatkan bahwa risiko deflasi berkepanjangan dapat muncul jika lemahnya permintaan domestik terus berlanjut. Hal ini diperparah oleh penurunan pesanan baru di sektor manufaktur dan ketidakpastian ekonomi global.
Ia juga menilai bahwa perlambatan inflasi inti bisa menjadi indikator stagnasi daya beli kelompok menengah dan atas, yang dapat memperlambat proses pemulihan ekonomi nasional.
Ketergantungan pada harga pangan yang sangat sensitif terhadap cuaca dan gangguan rantai pasok, juga menjadi tantangan tersendiri ke depan.
Baca Juga: Diskon Tarif Listrik 50% Batal, Sri Mulyani Beberkan Alasannya
Sektor jasa, termasuk restoran dan makanan siap saji, masih mencatat kontribusi inflasi yang terbatas, mencerminkan lambatnya pemulihan konsumsi masyarakat.
Sementara itu, kenaikan harga emas perhiasan dan layanan perawatan pribadi yang cukup tinggi (9,24% yoy) dapat menciptakan distorsi dalam pola konsumsi kelompok tertentu.
Josua menegaskan bahwa meskipun deflasi Mei mengurangi tekanan inflasi jangka pendek, kondisi ini sekaligus memperkuat kekhawatiran mengenai lemahnya konsumsi rumah tangga.
Baca Juga: Penurunan Harga Pangan Jadi Penyumbang Utama Deflasi Mei 2025
Oleh karena itu, ia menilai arah kebijakan ke depan perlu difokuskan pada penguatan permintaan agregat, penyaluran bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, serta pemberian insentif fiskal yang efektif.
“Pemulihan ekonomi akan lebih berkelanjutan jika konsumsi masyarakat benar-benar pulih, bukan sekadar terdorong oleh penurunan harga,” pungkas Josua.
Selanjutnya: OJK Perkuat Ketahanan Sektor Keuangan Hadapi Tantangan Global
Menarik Dibaca: Moms Wajib Lakukan 4 Hal Ini Setelah Berhubungan Seks Untuk Kebersihan Vagina Ya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News