Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Posisi utang pemerintah terus menanjak setiap tahunnya. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan crowding out effect.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, total jumlah nominal utang pemerintah pusat pada 31 Januari 2025 mencapai Rp 8.909,14 triliun.
Utang ini meningkat, 1,21% dari posisi pada Desember 2024 yang mencapai Rp 8.801,09 triliun, dan meningkat 8,07% bila dibandingkan akhir 2023 yang mencapai Rp 8.190,38 triliun. Atau bahkan meningkat 86,13% bila dibandingkan posisi utang pada 2019 yang mencapai Rp 4.786,58 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Economic and law Studies (Celios) Bhima Yudhistira membeberkan, crowding out effect bisa timbul lantaran, pemerintah menyedot likuiditas domestik melalui penerbitan surat utang atau surat berharga negara (SBN).
“Nah bayangkan ada pemerintah, BUMN, kemudian dan Danantara, ketiganya sama-sama nerbitin utang. Jadi bisa dibayangkan nanti, crawling out effect ini justru kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kredit perbankan,” tutur Bhima kepada Kontan, Minggu (9/3).
Baca Juga: BI: Produktivitas Perlu Ditingkatkan Agar Capai Pertumbuhan Ekonomi 8%
Selain itu, Bhima juga menyoroti bahwa sebagian besar utang yang diambil pemerintah digunakan untuk hal-hal yang kurang produktif. Misalnya saja, dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan terbesar dalam belanja negara justru terjadi pada belanja barang, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang, bukan pada belanja modal yang seharusnya lebih ekspansif.
Padahal menurutnya, belanja modal sangat penting untuk mendorong permodalan ke sektor industri dan UMKM. Jika utang yang diambil tidak dialokasikan secara produktif, maka bukan lagi menjadi dorongan bagi pertumbuhan ekonomi, melainkan justru menjadi hambatan.
“Artinya kemampuan pemerintah untuk bermanuver dari segi belanja mendorong sektor-sektor yang prioritas dan bisa memacu pertumbuhan ekonomi tinggi menjadi terbatas. Karena setiap kali ada belanja, buat bayar utang setiap kali ada utang baru, buat bayar utang. itu yang menjadi tidak produktif,” jelasnya.
Untuk tahun ini saja, utang jatuh tempo pemerintah pada 2025 mencapai Rp 800,33 triliun, atau sekitar 22,10% dari anggaran belanja negara tahun ini sebesar Rp 3.621,3 triliun.
Sejalan dengan itu, Bhima juga memperkirakan, rasio utang pemerintah bisa melonjak hingga 49,5% dari PDB pada 2029 mendatang. Ini meningkat dari target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah mematok rasio utang sebesar kisaran 39,01%-39,10% terhadap PDB pada 2029.
Baca Juga: Rasio Utang Pemerintah Diprediksi Lebih dari 40% terhadap PDB Tahun Ini
Selanjutnya: Harga Emas Diproyeksi Tembus US$3.000 Per Ons Troi di Pekan Depan
Menarik Dibaca: 14 Ramuan untuk Menurunkan Kolesterol Tinggi secara Alami
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News