Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Baca Juga: Demonstran bakar gerai Wendy's di Atlanta pasca penembakan pria kulit hitam
Hanya, harus diakui sering kali ada ekspresi dan pernyataan konyol, maupun mimik bahasa. Bagi dia, ekspresi seperti itu tidak bisa dihindari, karena terkait penafsiran orang yang berbeda. Asal dijelaskan dijawab maka persepsi orang akan lebih baik lagi ke warga Papua.
Ia menyatakan bahwa rasisme timbul karena ada tingkat superioritas berdasarkan warna kulit, namun Indonesia menurutnya adalah negara bhineka tunggal ika dengan berbagai macam warna kulit. Karena itu cara menyikapi rasisme tidak harus dengan kerusuhan.
“Rasisme yang muncul ini bukan cuma untuk Papua, tapi keseluruhan warga Indonesia harus di edukasi agar bisa menghargai hidup dalam keberagaman. Tidak usah diadakan asrama, agar mahasiswa Papua dapat berbaur dan menyatu dengan semua pihak dan bisa berbaur dengan suku manapun, sama seperti kondisi mahasiswa Papua dulu,” ujar Thomas.
Wakol Yelipele, Ketua PMKRI Papua, menambahkan, bahwa rasisme bukan hanya terjadi dan kepada orang Papua, tapi rasisme ada di mana-mana di segala golongan. Karena itu, ia meminta agar tidak memisahkan antara Papua dan Indonesia, namun bersama menyatukan. Karena itu, organisasi mahasiswa gencar bekerjasama memerangi rasisme lintas golongan organisasi.
Juga, rutin berkeliling Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan dan untuk menyatukan Indonesia. Mahasiswa Papua berada di posisi tengah yang tidak memihak siapapun dan mengutamakan untuk keadilan, kesejahteraan antar wilayah se-Indonesia.
Wakol mengaskan tagar PapuaLivesMatter juga sejatinya tidak relevan karena faktanya, warga Papua sangat terbuka, mau bekerjasama. Misal di tempat lahirnya, ada banyak warga suku bangsa, agama, membaur, ketika hari besar bersama saling membantu saling merayakan, hal ini dilakukan hidup dalam kerukunan menjadi contoh daerah lain, tidak ada perbedaan satu membangun negeri.
Baca Juga: Paul McCartney geram budaya rasisme yang masih hidup hingga kini
Sementara Ayub Anto, salah satu Mahasiswa Papua yang menempuh kuliah di Solo, mengingatkan bahwa semua pihak harus melihat tujuan besar negara Indonesia yang dibangun dari berbagai macam suku. Ia mengaku, sejak kecil tinggal di Jawa, dan hidup dengan berbagai suku dalam satu rumah, sehingga perasaan saling merangkul, bersama, tercipta.
Ia mengajak teman-teman mahasiswa Papua diharapkan untuk fokus pada Pendidikan, sehingga ketika selesai mampu membantu masyarakat Papua dan tidak terprovokasi. Ia yakin rasisme dapat ditekan, dengan memperkenalkan Indonesia yang beragam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News