Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Kris, karyawan swasta sekaligus warga Cipayung, Jakarta Timur, tak mengira belanja bulanan yang biasanya rutin bisa berubah jadi pengalaman penuh kejutan.
Saat ia mampir ke sebuah supermarket awal Agustus 2025 lalu, harga beras premium yang selama ini ia beli mendadak meroket dari harga normal.
Ia mengaku terkejut saat berbelanja kebutuhan bulanan. Ia mendapati harga beras premium kemasan 5 kilogram (kg) yang biasanya dibanderol Rp 74.000, melonjak menjadi Rp 103.000.
“Sebetulnya, kemarin kan belanja bulanan, pas di bagian beras, yang biasanya 74.000 beras premium hampir semua merek, kok kemarin Rp 103.000 (per kemasan 5 kg) agak kaget juga,” ujar Kris saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (19/8/2025).
Kenaikan harga beras yang mencapai sekitar 33% itu menurutnya terasa memberatkan.
Dari keterangan yang diterimanya, pasokan beras memang sedang jarang, sehingga pihak ritel membatasi pembelian. Pria berusia 39 tahun ini memandang kondisi ini terasa mencekik bagi kalangan kelas menengah, sebab biasanya ia membeli hingga tiga kantong sekaligus untuk stok bulanan.
Kini, dengan kenaikan harga beras yang signifikan dan adanya pembatasan, ia harus memikirkan cara lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
“Makanya dibatasi dan harga naik, naiknya mencekik sih buat kelas menengah. Beli di situ juga satu kantong, sambil memikirkan bakal beli dimana untuk stok. Biasanya di situ beli tiga kantong,” ucap Kris.
Baca Juga: Beras Premium Langka, Saham Dua Emiten Produsen Beras Ini Bergerak Variatif
Kisah serupa datang dari Dea, ibu rumah tangga di Depok, Jawa Barat. Ia masih ingat jelas pengalaman akhir Juli 2025 ketika persediaan beras di rumah habis.
Bersama suami, ia mencoba membeli beras di ritel modern seperti Alfa dan Hypermart, tempat biasa mereka belanja. Namun harga yang ditemui membuatnya terperangah.
“Kan kejadiannya akhir Juli 2025 lah ya, tadi aku baru cek lah gitu, jadi waktu itu beras di rumah habis, dan emang kan selama ini kita itu, kalau beli beras kan selalu ke ritel ya, Alfa atau Hypermart gitu yang per 5 kiloan, nah waktu itu habis-habis kita nyari, waktu itu,” ungkap Dea kepada Kompas.com.
Menurutnya, pasokan di ritel modern sebenarnya masih ada. Namun, persoalan ada pada harga yang melonjak jauh dari biasanya.
Ia pun mencoba mencari melalui aplikasi belanja daring Astro. Dea awalnya berniat membeli merek-merek yang biasa ia konsumsi, seperti Topi Koki atau Platinum.
Namun, ia terkejut ketika mendapati harga untuk kemasan 5 kilogram sudah berada di kisaran Rp 80.000, jauh lebih tinggi dari harga biasanya. Dea melanjutkan, biasanya suaminya yang membeli beras langsung di ritel modern.
Namun kali itu, ia kaget ketika mengetahui harga beras premium sudah melambung tinggi.
Baca Juga: Kemendagri Bingung Harga Beras Tetap Tinggi Meski Ada Operasi Pasar
Karena penasaran, mereka mencoba membandingkan harga dengan pilihan lain. Di Astro, mereka menemukan merek yang tidak begitu dikenal, seperti “Anak Emas” atau merek internal Astro.
Harga merek-merek tersebut relatif lebih rendah, sekitar Rp 70.000 sampai Rp 76.000 per kemasan 5 kilogram. Karena itu dianggap paling murah dibanding merek langganan yang sudah menembus Rp 80.000, akhirnya mereka memutuskan membeli dua sak, masing-masing 5 kilogram.
Sementara itu, sang suami yang sempat mengecek langsung ke ritel modern justru semakin terkejut karena harga beras di sana jauh lebih tinggi, yang ia sebut sudah “gila” untuk ukuran beras premium.
“Yang mereknya Astro lah kayak gitu dan itu harganya udah di angka Rp 70.000 waktu itu, Rp 76.000 lah, karena itu paling murah akhirnya kita beli dulu kan dua sak lah ya, dua kali 5 kilo, kayak gitu udah kita beli terus suami nyari ke Alfa gitu kan dia bilang harganya udah gila,” lanjut Dea.
Sebagai seorang ibu rumah tangga, Dea mengaku wajar jika dirinya selalu mencari pilihan yang lebih murah untuk kebutuhan pokok. Karena itulah, ketika harga beras premium di ritel besar melonjak, ia dan suaminya beralih membeli lewat Astro.
Baca Juga: Celios : Kelangkaan Beras Premium Akibat Distribusi SPHP yang Longgar
Menurutnya, selisih harga meski tidak terlalu besar tetap terasa signifikan bagi pengeluaran rumah tangga. Ia bahkan sempat menduga kelangkaan dan kenaikan harga beras ada kaitannya dengan isu beras premium oplosan yang ramai belakangan.
Baik Kris maupun Dea menekankan hal yang sama: pemerintah harus segera turun tangan. Bagi mereka, beras adalah kebutuhan pokok yang tak bisa digantikan.
Lonjakan harga beras premium saat ini menunjukkan tekanan nyata yang bukan hanya menyasar kelompok berpendapatan rendah, tapi juga mulai mencengkeram kelas menengah.
Dengan kenaikan yang drastis, ruang gerak rumah tangga untuk mengatur pengeluaran makin menyempit, apalagi di tengah biaya hidup lain yang juga kian merangkak.
Kini, lorong beras di supermarket bukan lagi sekadar tempat orang mengambil kebutuhan bulanan, melainkan juga cermin keresahan sosial-ekonomi, bagaimana mungkin kebutuhan pokok sehari-hari mendadak menjadi barang yang mencekik bahkan bagi kelompok masyarakat yang relatif mapan?
Baca Juga: Realisasi Penyaluran Beras SPHP Baru Mencapai 38.811 Ton
Lonjakan harga beras premium di ritel modern, ditambah kabar soal kasus beras oplosan, membuat banyak konsumen mengubah kebiasaan belanjanya.
Kini, pasar tradisional justru kembali menjadi pilihan utama masyarakat karena harga lebih bersahabat dan kualitas beras dianggap tidak kalah.
Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, mengatakan harga beras premium di pasar tradisional hanya sekitar Rp 13.000 per kilogram, jauh lebih rendah dibanding di ritel modern yang menembus Rp 17.000 hingga Rp 18.000 per kilogram.
Amran menilai kondisi langkanya beras premium di ritel modern sebenarnya tidak sepenuhnya buruk. Justru, pedagang kecil dan penggilingan beras skala kecil ikut diuntungkan.
Ia menerangkan, pasokan beras ke pasar tradisional sebagian besar memang berasal dari penggilingan kecil dan menengah.
Sementara itu, ritel modern umumnya dipasok oleh pabrik besar. Data Kementerian Pertanian mencatat, Indonesia saat ini memiliki 1.065 pabrik besar dengan kapasitas giling 30 juta ton gabah per tahun, 7.300 pabrik menengah dengan kapasitas 21 juta ton, serta 161.000 penggilingan kecil yang sanggup menggiling hingga 116 juta ton gabah per tahun.
Dengan kapasitas nasional gabah yang hanya sekitar 65 juta ton, Amran meyakini penggilingan kecil mampu menopang kebutuhan beras dalam negeri.
Tonton: Beli Beras Murah di Toko Ritel Bakal Dibatasi Maksimal 2 Pax, Mengapa?
Namun, ia mengingatkan adanya persaingan harga yang kerap membuat penggilingan kecil terdesak. Pabrik besar dinilai berani membeli gabah dengan harga lebih tinggi, di kisaran Rp 6.700 hingga Rp 7.000 per kilogram, sementara standar harga hanya Rp 6.500 per kilogram.
“Pemerintah menginginkan penggilingan kecil jangan sampai tertindas. Ini ekonomi kerakyatan, makanya pemerintah intervensi lewat subsidi pangan. Tahun ini Rp 150 triliun, dan tahun depan naik jadi Rp 160 triliun,” tutur Amran saat ditemui beberapa waktu lalu.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Harga Beras Premium Melonjak, Warga Kelas Menengah Teriak"
Selanjutnya: Bank Mandiri Perkuat Transformasi Digital Lewat Implementasi NCBS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News