Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Karena penasaran, mereka mencoba membandingkan harga dengan pilihan lain. Di Astro, mereka menemukan merek yang tidak begitu dikenal, seperti “Anak Emas” atau merek internal Astro.
Harga merek-merek tersebut relatif lebih rendah, sekitar Rp 70.000 sampai Rp 76.000 per kemasan 5 kilogram. Karena itu dianggap paling murah dibanding merek langganan yang sudah menembus Rp 80.000, akhirnya mereka memutuskan membeli dua sak, masing-masing 5 kilogram.
Sementara itu, sang suami yang sempat mengecek langsung ke ritel modern justru semakin terkejut karena harga beras di sana jauh lebih tinggi, yang ia sebut sudah “gila” untuk ukuran beras premium.
“Yang mereknya Astro lah kayak gitu dan itu harganya udah di angka Rp 70.000 waktu itu, Rp 76.000 lah, karena itu paling murah akhirnya kita beli dulu kan dua sak lah ya, dua kali 5 kilo, kayak gitu udah kita beli terus suami nyari ke Alfa gitu kan dia bilang harganya udah gila,” lanjut Dea.
Sebagai seorang ibu rumah tangga, Dea mengaku wajar jika dirinya selalu mencari pilihan yang lebih murah untuk kebutuhan pokok. Karena itulah, ketika harga beras premium di ritel besar melonjak, ia dan suaminya beralih membeli lewat Astro.
Baca Juga: Celios : Kelangkaan Beras Premium Akibat Distribusi SPHP yang Longgar
Menurutnya, selisih harga meski tidak terlalu besar tetap terasa signifikan bagi pengeluaran rumah tangga. Ia bahkan sempat menduga kelangkaan dan kenaikan harga beras ada kaitannya dengan isu beras premium oplosan yang ramai belakangan.
Baik Kris maupun Dea menekankan hal yang sama: pemerintah harus segera turun tangan. Bagi mereka, beras adalah kebutuhan pokok yang tak bisa digantikan.
Lonjakan harga beras premium saat ini menunjukkan tekanan nyata yang bukan hanya menyasar kelompok berpendapatan rendah, tapi juga mulai mencengkeram kelas menengah.
Dengan kenaikan yang drastis, ruang gerak rumah tangga untuk mengatur pengeluaran makin menyempit, apalagi di tengah biaya hidup lain yang juga kian merangkak.
Kini, lorong beras di supermarket bukan lagi sekadar tempat orang mengambil kebutuhan bulanan, melainkan juga cermin keresahan sosial-ekonomi, bagaimana mungkin kebutuhan pokok sehari-hari mendadak menjadi barang yang mencekik bahkan bagi kelompok masyarakat yang relatif mapan?
Baca Juga: Realisasi Penyaluran Beras SPHP Baru Mencapai 38.811 Ton