kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Wah, daya saing WNI masih jauh tertinggal


Selasa, 19 September 2017 / 06:57 WIB
Wah, daya saing WNI masih jauh tertinggal


Reporter: Choirun Nisa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Daya saing warga negara Indonesia (WNI) masih kalah jauh dari negara tetangga. Berdasar ranking Indeks kualitas nasional atau Quality of Nationality Index (QNI) yang dirilis oleh Henley and Partners, daya saing WNI berada pada posisi ke-105 untuk tahun 2016.

Peringkat QNI Indonesia tahun 2016 tidak beranjak dari posisi tahun sebelumnya. Namun skor Indonesia dalam QNI 2016 sedikit naik menjadi 28,8% dibandingkan tahun 2015 dengan skor 27,4%. Quality of Nationality Index Indonesia juga masih tertinggal dari negara-negara ASEAN lain. Singapura berada pada peringkat 36, Malaysia 45, dan Thailand 97.

Menurut periset internasional di bidang kependudukan itu, masih rendahnya daya saing WNI tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah sejak era Susilo Bambang Yudhoyono hingga sekarang yang menjadikan pendidikan sebagai fokus utama pemerintahan. Apalagi anggaran untuk pendidikan cukup besar hingga 20% dari APBN tiap tahun.

Sekadar informasi, QNI melihat kesuksesan suatu negara dalam konteks pengembangan manusia, kesejahteraan ekonomi dan kedamaian, serta stabilitas. Penghitungan QNI menggunakan empat indeks komponen penilaian, yaitu indeks pembangunan manusia (IPM), stabilitas dalam negeri, dan faktor eksternal seperti kemudahan pengurusan travel visa, kerja, dan tinggal di luar negeri.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai wajar jika Indonesia tertinggal dengan negara tetangga. Soalnya, berbagai kondisi yang menjadi indikator untuk penghitungan QNI masih bermasalah.

Misalnya komponen skala ekonomi, Indonesia tertinggal jauh dibanding negara tetangga. Pasalnya, skala ekonomi berhubungan erat dengan efisiensi dan biaya produksi, sementara Indonesia masih terkenal dengan negara yang high-cost efisiensi yang ditimbulkan dari kemacetan dan pungutan liar (pungli).

"IPM Indonesia masih berada di angka 68,9, sementara Malaysia, Singapura, dan Thailand sudah memasuki angka 70-an," terang Lana, Minggu (17/9).

Agar masuk 100 besar, Lana menyarankan pemerintah terus memperbaiki pengurusan izin visa kerja, membangun infrastruktur untuk mengurai kemacetan, menghentikan pungli, dan pelaksanaan pemberantasan korupsi lebih sering. "Perbaikan IPM itu harus jangka panjang," kata Lana.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kadin Indonesia Benny Soetrisno menambahkan pentingnya meningkatkan skala ekonomi dari sisi pendidikan. Hingga kini pendidikan Indonesia masih terus mengacu kurikulum saja tanpa melihat pada kondisi zaman. "Seharusnya diubah karena kebutuhan dunia tak selalu sama. Jadi harusnya mengacu pada kebutuhan di lapangan kerja juga," kata Benny.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×