kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Wacana pembatasan ekspor gas timbulkan pro kontra


Selasa, 17 Juni 2014 / 10:15 WIB
Wacana pembatasan ekspor gas timbulkan pro kontra
ILUSTRASI. Layar menampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (17/6/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.


Reporter: Agus Triyono, Widyasari Ginting | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Rencana pemerintah membatasi ekspor gas masih menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya, di satu sisi, kebijakan ini dinilai bisa memenuhi kebutuhan gas untuk industri di dalam negeri. Namun, di sisi yang lain, pembatasan ekspor gas juga dianggap akan memangkas pendapatan negara dari ekspor gas.

Natsir Mansyur, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mengatakan, belakangan ini kebutuhan gas di dalam negeri, khususnya untuk industri terus meningkat. Karena itu, pembatasan ekspor gas bisa menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan suplai gas industri domestik.

Namun, Natsir berharap, pembatasan ekspor gas diikuti kebijakan strategis lainnya. Misalnya, kebijakan pengalokasian jatah gas. Dia meminta, suplai gas juga perlu dialokasikan untuk kebutuhan pembangunan smelter. "Kami sudah mengusulkan agar selain disuplai ke pupuk dan industri, gas untuk smelter juga dimasukkan dalam neraca gas," kata Natsir, Minggu (15/6).

Pengalokasian gas itu penting dilakukan untuk memberikan kepastian kepada pengusaha. "Untuk membangun smelter butuh investasi besar, jangka panjang dan low return. Karena itu, persiapkan semuanya," imbuh Natsir.

Pendapat berbeda diungkapkan praktisi Migas Sammy Hamzah. Dia bilang, industri dalam negeri memang selalu mengalami kekurangan gas. Namun, tidak tepat jika pemerintah mencari solusinya dengan cara membatasi ekspor gas. "Yang terpenting adalah bagaimana membuat pasar dalam negeri menarik untuk para produsen gas, sehingga mereka tidak melakukan ekspor," ujar Sammy.

Selama ini, lanjut dia, biasanya dalam setiap kontrak Domestik Market Obligation (DMO) gas yang ditandangani pemerintah dan para investor, sudah ada alokasi gas untuk disalurkan ke dalam negeri. Selain itu, menurutnya, penerimaan gas yang menjadi milik pemerintah juga lebih besar dibandingkan yang diperoleh investor. "Jika kemudian dibatasi lagi, produsen hulu bisa menjerit," ujar Sammy.

Jadi, kata Sammy, pemerintah seharusnya menyadari bahwa selama ini hasil dari ekspor gas menyumbang penerimaan yang cukup besar dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN).  Jika dibatasi, kemungkinan secara umum akan menjawab kebutuhan gas untuk industri dalam negeri. Namun, langkah ini juga akan berakibat pada penurunan penerimaan negara dari ekspor gas. Alhasil, kebijakan ini juga ikut memberi andil terhadap menurunnya laju perekonomian Indonesia tahun ini dan 2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×