Reporter: TribunNews | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana penerapan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ke dalam regulasi nasional menuai sorotan dari tokoh masyarakat, wakil rakyat, dan pelaku industri.
Mereka menilai langkah ini berpotensi merugikan jutaan pekerja, petani tembakau, serta pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia.
Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Muhammad Misbakhun, mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan terkait industri padat karya ini.
Ia menyayangkan sikap sebagian pihak yang kerap menyepelekan keberadaan industri hasil tembakau, padahal sektor ini memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional.
Baca Juga: Respons Sejumlah Kepala Daerah Terkait Wacana Adopsi Regulasi FCTC Soal Tembakau
“Kita harus berhati-hati terhadap agenda global yang bisa memengaruhi industri padat karya ini,” ujar Misbakhun dalam diskusi “Harapan Deregulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau” di Menara Kadin Indonesia, Jakarta, Minggu (16/11/2025).
Dukungan serupa datang dari Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Saleh Husin. Ia menekankan industri tembakau menyerap hampir 6 juta tenaga kerja dan menyumbang penerimaan negara melalui cukai sebesar Rp216 triliun pada 2024.
Menurut Saleh, sektor ini menjadi penopang hidup bagi jutaan keluarga, sehingga regulasi harus bersifat proporsional dan tidak menekan.
“Industri hasil tembakau bukan hanya sumber pendapatan, tapi juga penopang kehidupan jutaan keluarga Indonesia. Regulasi harus proporsional, bukan menekan,” jelasnya.
Mantan jurnalis senior Bambang Harymurti menambahkan, berdasarkan kajian internasional, Indonesia termasuk empat negara yang dikecualikan dari penerapan FCTC karena kontribusi ekonominya yang besar.
Baca Juga: Hasil Studi Kompas Litbang Tunjukkan Industri Tembakau Gerakkan Ekonomi RI
Dokumen lama Bank Dunia menunjukkan hampir semua negara merugi akibat industri rokok, namun Indonesia justru menonjol dalam kontribusi ekonomi.
“Dalam framework WHO disebutkan FCTC tidak berlaku bagi empat negara, salah satunya Indonesia. Jadi, mengapa kita harus menandatangani perjanjian yang tidak relevan dengan kondisi kita?” ujar Bambang.
Bambang menekankan bahwa kondisi sosial dan ekonomi Indonesia berbeda dengan negara lain yang tidak memiliki industri tembakau. Oleh karena itu, Indonesia memiliki hak menolak adopsi FCTC tanpa dianggap menentang konsensus global.
Ia menegaskan, rokok bukan barang ilegal, sehingga regulasi seharusnya tidak bertujuan mematikan industri.
Sumber: https://www.tribunnews.com/bisnis/7755461/muncul-wacana-adopsi-perjanjian-global-anti-tembakau-dpr-indonesia-harus-hati-hati
Selanjutnya: MSIG Life Andalkan Diversifikasi Portofolio untuk Jaga Kinerja Investasi
Menarik Dibaca: 12 Cara Simpel Agar Dapur Anda Lebih Nyaman, Fungsional, dan Bikin Betah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













