Reporter: Fahriyadi | Editor: Edy Can
JAKARTA. Rapat paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pangan. Anggota DPR menilai beleid ini bukan hanya mengatur soal ketahanan dan kedaulatan pangan nasional melainkan juga menjawab kritik dan rekomendasi dari Organizations for Economic Cooperation adn Development (OECD).
Ketua Komisi IV DPR Muchammad Romahurmuziy menuding pernyataan OECD itu keliru karena mulai hari ini Indonesia memiliki payung hukum yang komprehensif soal pangan yang didalamnya tertuang poin-poin penting terkait kebijakan menuju swasembada dan ketahanan pangan. "Dalam RUU Pangan ini kami mendorong produksi pangan secara mandiri, diversifikasi dan keanekaragaman pangan lokal, hasil produksi pangan yang terjamin, dan bermutu," ujar Romahurmuziy, Kamis (18/10).
Menurut politisi Partai Persatuan Pembangunan, undang-undang ini melindungi produksi pangan dalam negeri sehingga arah kebijakan nasional soal pangan sudah sangat jelas. Dengan tidak mengedepankan produksi dalam negeri dan menjadikan impor sebagai pilihan terakhir, maka kebijakan pangan nasional tidak bergantung pada pihak lain.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Ahmad Suryana membenarkan hal itu. Menurutnya rekomendasi OECD bukan hanya tak cocok untuk Indonesia tapi juga di dunia secara keseluruhan. "FAO menyarankan kepada semua negara untuk menguatkan ketahanan pangan domestik, jadi pengembangan impor bukan cara yang baik," jelas Ahmad.
Menurutnya, ketahanan pangan lewat RUU Pangan ini sangat penting untuk mengatasi krisis pangan yang mengancam dunia.
"RUU Pangan ini juga sekaligus menjawab bahwa Indonesia tidak mengikuti rekomendasi OECD."
Ia bilang Indonesia bukan mengharamkan impor pangan tapi jika bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Sebelumnya, Ken Ash, Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan Indonesia melalui swasembada adalah salah arah. Menurut Ash, Indonesia seharusnya melakukan diversifikasi produksi padi dengan komoditas lain yang bernilai tinggi seperti tanaman buah, sayuran, serta tanaman perkebunan. Pasalnya komoditas tersebut dapat berkontribusi untuk meningkatkan penghasilan dan akses pangan bagi banyak rumah tangga tani.
Selain itu proteksi terhadap impor produk pertanian dinilai telah menghambat daya saing sektor pertanian, membatasi pertumbuhan produktivitas pertanian, serta membebani biaya pangan bagi rakyat miskin, termasuk petani didalamnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News