kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

UU Cipta Kerja dorong riset berbasis output untuk kepentingan masyarakat


Senin, 30 November 2020 / 09:07 WIB
UU Cipta Kerja dorong riset berbasis output untuk kepentingan masyarakat
ILUSTRASI. Harusnya riset itu berbasis standar biaya keluaran dan menuju paten


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Lily Surraya Eka Putri mengatakan, selama ini riset akademis masih berbasis pada aktivitas penelitian bukan pada output (keluaran) penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Katanya, UU Cipta Kerja dukung riset berbasis output untuk kepentingan masyarakat itu.

“Dengan kondisi yang semakin berkembang dan kompetitif, mendatang harusnya riset itu berbasis standar biaya keluaran dan menuju paten. Ini sebenarnya sudah didukung oleh UU Cipta Kerja,” kata Lily dalam keterangannya melalui diskusi daring yang digelar akhir pekan kemarin oleh PPM LP2M UIN Syarif Hidayatullah.

Dalam diskusi daring bertajuk Masa Depan Perguruan Tinggi dan Industri: Membahas Kluster Riset dan Inovasi dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja itu, Lily menyampaikan, pemerintah menginginkan dunia pendidikan harus bisa menghasilkan teknologi tepat guna dan peningkatan nilai tambah dan hilirisasi untuk masyarakat.

Baca Juga: Kadin: Masuknya investasi dari negara EFTA tergantung iklim usaha di Indonesia

“Jadi, kita di perguruan tinggi tidak boleh hanya penelitian saja, tapi harus ada produk dan nilai tambahnya yang hasil akhirnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” jelas guru besar Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah ini.

Lebih lanjut, Lily membeberkan bahwa aktivitas riset teknologi dan sains secara akademis sangat banyak. Namun, sangat sedikit mempedulikan paten, komersialisasi dan memberikan pemasukan materi pada perguruan tinggi.

Untuk itu, tambah Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta ini, dunia akademis harus menyambut kebijakan pemerintah yang menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam mendukung pengembangan riset dan inovasi ke perguruan tinggi.

“Ada satu hal yang harus digarisbawahi dalam UU Cipta Kerja, yakni BUMN mendapatkan penugasan khusus untuk pengembangan-pengembangan riset dan inovasi di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga Litbang (penelitian dan pengembangan),” beber Lily.

Lily menyorot dua undang-undang penting yang berubah dalam UU Cipta Kerja. Yakni UU 13/2016 tentang Paten dan UU 20/2016 tentang Merek. Dalam UU Cipta Kerja, lanjut Lily, tekait paten dan merek lebih dimudahkan dalam proses mengurusnya.  

“Prinsipnya, aturan paten dan merek (dalam UU Cipta Kerja) lebih dimudahkan. Ada 5 aturan yang diubah, yang prinsipnya ada kegunaan praktis,” imbuh lulusan University of New South Wales Australia ini.

Lebih jauh Lily menerangkan, bahwa prinsip itu mengandaikan aktivitas riset dan inovasi harus berkolaborasi dengan dunia industri. Kemudian dari sisi waktu pengurusan izin paten dalam UU Cipta Kerja jauh lebih singkat.

“Pengalaman saya dengan rekan peneliti, untuk urus paten sederhana itu sangat lama sekali. Tapi dengan adanya perubahan ini (UU Cipta Kerja) paling lama hanya enam bulan dari permohonan sampai substansi, dan menteri harus memutuskan itu,” ungkap Lily.

Lily lalu menyimpulkan, perubahan  itu jauh lebih memudahkan untuk komersialisasi dan hilirisasi hasil penelitian perguruan tinggi dan akan berimplikasi positif pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

“Itu mendorong UMKM lebih giat menghasilkan inovasi dan harusnya UMKM ada kolaborasi dengan perguruan tinggi. Perguruan tinggi ini memberikan alih teknologi dan juga pendampingan,” katanya.

Lily berharap alih teknologi kepada UMKM ini tidak perlu ada biaya yang ditanggung pelaku UMKM, karena itu untuk kepentingan kemajuan UMKM dan demi kemaslahatan umat.

Selain komersialisasi dan pemanfaatan riset dan inovasi bagi masyarakat, kata Lily, yang tak kalah penting adalah perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI).

Baca Juga: Lima tahun lapangan kerja merosot, pengamat: PSN harus ciptakan lapangan kerja

Untuk itu, ia mendorong peneliti-akademisi setiap kampus untuk membentuk badan perlindungan HKI sebagaimana termaktub dalam UU.

“Perguruan tinggi dan lembaga litbang itu wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI,” Lily mengutip UU 18/2002 pasal 18 ayat 3.

Selain mendorong pendirian sentra HKI, Lily juga mendorong akademisi-peneliti untuk melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dan disiplin ilmu. Baik dengan pihak industri, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Apalagi, berdasarkan agenda riset nasional 2020-2024, pemerintah saat ini sangat terbuka dan mendukung terhadap berbagai kegiatan riset dan inovasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×