Reporter: Ferry Saputra | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah sampai akhir Maret 2023 berada di level Rp 7.879,07 triliun. Angka tersebut menandakan utang pemerintah naik menjadi Rp 17,39 triliun dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 7.861,68 triliun.
Adapun rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 39,17%.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai peningkatan jumlah utang pemerintah menjadi hal yang sulit dihindari. Hal itu berdasarkan tren yang terjadi setidaknya dalam 2 sampai 3 tahun ke belakang.
Yusuf menjelaskan pemerintah membutuhkan utang untuk pembiayaan kebijakan yang berkaitan dengan pandemi Covid-19. Setelah itu, pemerintah juga harus berurusan dengan bunga utang yang muncul dari kebijakan tersebut.
Baca Juga: Kemenkeu Catat Utang Pemerintah hingga Maret 2023 Capai Rp 7.879,07 Triliun
"Meskipun demikian, utang yang dilakukan pemerintah setidaknya harus menjadi suatu upaya agar bisa mendorong perekonomian ke arah atau pertumbuhan yang lebih tinggi," ucap dia beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, Yusuf menyampaikan alokasi atau pun kebijakan yang dilakukan pemerintah menjadi unsur yang penting agar upaya tersebut bisa tercapai.
Menurut dia, strateginya tentu memilih sektor yang kemudian bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi akan mengompensasi kenaikan utang dalam beberapa tahun terakhir.
"Artinya, kenaikan PDB yang lebih tinggi bisa memperkecil rasio utang pemerintah ke level yang lebih rendah dibandingkan posisi saat ini," kata dia.
Adapun pemerintah juga perlu memitigasi terkait perubahan nilai tukar Rupiah akibat dari kebijakan ekonomi global dalam beberapa bulan ke depan.
Baca Juga: Ekonom Ingatkan Enam Tantangan Ekonomi Bagi Capres 2024
Yusuf mengatakan saat Bank Sentral Amerika Serikat kembali melakukan penyesuaian suku bunga acuan, tentu akan berpotensi mendorong terjadinya capital outflow dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dia menerangkan ketika capital outflow terjadi, maka nilai tukar berpotensi mengalami pelemahan. Imbasnya, akan terjadi utang yang dilakukan dalam bentuk valas dan hal itu bisa berpotensi mengalami peningkatan. Akibatnya, rasio utang yang tadinya diproyeksikan bisa melambat atau menurun malah tidak terjadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News