kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Usaha Pertanian Turun, Petani Dorong Pemerintah Maksimalkan Reforma Agraria


Rabu, 06 Desember 2023 / 14:10 WIB
Usaha Pertanian Turun, Petani Dorong Pemerintah Maksimalkan Reforma Agraria
ILUSTRASI. Program reformasi agraria kepada petani tak bertanah belum berjalan maksimal.. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa.


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai, menyusutnya jumlah usaha pertanian dalam 10 tahun terakhir semakin menjelaskan bahwa program reformasi agraria kepada petani tak bertanah belum berjalan maksimal. 

Selain itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menambahkan, usaha tani saat ini juga sudah terdesak dengan adanya usaha pertanian dan pangan skala besar.

"Ditambah usaha pertanian kita juga terdesak dengan adanya impor dari luar yang besar. Jadi menurun usaha pertanian karena memang lahan menyempit dan juga usaha tani melalui koperasi tidak ada pembinaan, pembinaan yang ada hanya lewat Poktan. Sedangkan Poktan bukan dunai usaha beda sama koperasi," kata Henry dihubungi Kontan.co.id, (5/12).

Oleh karenanya, SPI mendorong pemerintah dapat menghentikan perusahaan berskala besar masuk dalam sektor pertanian. Henry mencontohkan seperti food estate yang dinilai lebih condong menyerahkan usaha tani kepada usaha skala besar. Ia juga berharap agar impor pangan yang besar juga diharapkan tak lagi dilakukan, serta mendorong reforma agraria bagi para petani. 

Baca Juga: Petani Gurem Meningkat, Orang Miskin dari Sektor Pertanian Bertambah

"Selain itu perlu juga adanya pengembangan koperasi petani. Petani kita masih sangat sedikit sekali yang bergabung dengan koperasi, hanya mereka dalam kelompok tani inikan beda dengan koperasi," kata Henry. 

Henry menyebut jika kondisi saat ini masih dipertahankan, tak menutup kemungkinan usaha pertanian akan semakin menurun dalam 10 tahun mendatang. 

"Dunia usaha petani akan menurun, petani gurem akan meningkat dan semakin berkembang perusahaan pertanian. Perusahaan skala besar jika sudah masuk ke sawit lalu mereka akan masuk ke dunia tanaman padi dan lainnya yang dikelola oleh rakyat," imbuhnya.

Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, dari tahun ke tahun, sektor pertanian terus mengalami penurunan kinerja. Meski neraca perdagangan pertanian masih surplus, namun surplus hanya disumbang subsektor perkebunan yakni sawit. 

Adapun komoditas perkebunan yang lain atau subsektor yang lain terus mengalami keterpurukan. Salah satunya tecermin dari impor pangan, baik nilai maupun volume, yang terus naik. 

Ia menyampaikan dengan hasil sensus pertanian 2023 menandakan sektor pertanian semakin menua dan pelakunya mengalami guremisasi. 

"Ini menandakan lahan pertanian petani kian menyempit. Sebagian pelaku keluar dari sektor pertanian, sukarela atau terpaksa. Sementara yang bertahan harus menerima nasib, terancam semakin miskin karena guremisasi," kata Khudori.

Selama ini, Ia mengatakan diakui atau tidak, para pemangku kepentingan berlaku tidak adil kepada petani. Khudori menilai pemerintah menjamin dan memberikan makan kepada penduduk berjumlah 276 juta. Namun disisi lain para pemangku kepentingan, terutama pemerintah, tidak menjamin keuntungan dan kesejahteraan petani. 

Kebijakan yang ada disebut terus menerus meminggirkan petani kecil dan pertanian keluarga. Sebaliknya, kebijakan lebih berpihak pada korporasi swasta, bahkan asing, dengan cara memberi karpet merah. 

Baca Juga: Sertifikasi Hak Milik Tanah Transmigrasi Telah Capai 140.000 Hektare

"Terutama terhadap penguasaan lahan. Sebaliknya, akses petani seperti ditutup rapat," tegasnya.

Ke depan Khudori mengatakan, calon presiden dan calon wakil presiden yang terpilih perlu memastikan kebijakan yang berbau kolonial ini harus diakhiri. Jika kondisi  sektor pertanian saat ini dipertahankan, akan membuat pertanian kian terpuruk.

Selain itu, pelaku di sektor ini juga terancam kian miskin, hingga kemudian pelan-pelan sektor pertanian ditinggalkan. 

"Ketika itu terjadi, impor membengkak, banyak devisa melayang. Sementara menggantungkan pangan pada impor atau pasar dunia amat riskan. Kecenderungan sikap proteksionis negara-negara eksportir pangan akan membuat instabilitas harga pangan jadi keniscayaan dan krisis pangan bakal berulang," ungkapnya. 

Berdasarkan sensus pertanian 2023 yang dilakukan BPS, jumlah unit usaha pertanian di Indonesia turun 7,42% atau menjadi 29,36 juta unit dibandingkan tahun 2013 sebanyak 31,71 juta unit. Khusus untuk unit usaha pertanian perorangan (UTP), jumlahnya turun 7,45% dari 31,71 juta unit pada 2013 menjadi 29,34 juta unit pada 2023. 

Sementara itu, jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum (UPB) sebanyak 5.705 unit, atau naik 35,54% dari tahun 2013 (4.209 unit). Kenaikan juga terjadi pada jumlah usaha pertanian lainnya (UTL) dari 5.982 pada 2013 jadi 12.926 unit di tahun 2023.

Di tengah penurunan unit usaha pertanian, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) pada 2023 justru meningkat 8,74% dari 26,14 juta rumah tangga pada 2013 jadi 28,42 juta rumah tangga pada 2023. Hal ini membuat rasio UTP terhadap RUTP turun dari 1,21 pada 2013 menjadi 1,03 pada 2023.

Selanjutnya, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RUTP) gurem atau petani gurem mengalami kenaikan dalam 10 tahun terakhir. Dimana jumlah petani gurem mengalami peningkatan 18,49% menjadi 16,89 juta dibandingkan 2013. 

Proporsi petani pengelola UTP berusia 55-64 tahun meningkat dari 20,01% pada 2013 menjadi 23,3% pada 2023. Demikian juga petani berusia 65 tahun ke atas yang proporsinya meningkat dari 12,75% menjadi 16,15% dalam sepuluh tahun terakhir. Sebaliknya, petani berusia 25-34 tahun menurun dari 11,97% pada 2013 menjadi 10,24% pada 2023.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×