Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merevisi defisit keseimbangan primer di dalam outlook anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020.
Sebelumnya, keseimbangan primer diprediksi mengalami defisit sebesar Rp 12 triliun, tetapi di dalam outlook prediksi tersebut meningkat tajam menjadi 3,08% dari produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan Rp 517,8 triliun.
Baca Juga: Turunkan defisit keseimbangan primer, pemerintah akan kerek sumber penerimaan negara
Kemudian, di dalam data Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2021, pemerintah juga memproyeksi keseimbangan primer akan terus mengalami defisit menurun sampai dengan tahun 2024.
Perinciannya, pada tahun 2020 ini pemerintah memproyeksi keseimbangan primer pada level 3,08% dari PDB, tahun 2021 antara 1,24% sampai 2,07% dari PDB, tahun 2022 antara 0,94% sampai 1,70% dari PDB, tahun 2023 antara 0,49% sampai 0,87% dari PDB, dan tahun 2024 antara 0,34% sampai 0,66% dari PDB.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, akan sulit bagi pemerintah dalam memperkecil defisit keseimbangan primer ke arah surplus sementara total utang pemerintah terus meningkat.
"Apalagi, outlook rasio pajak (tax ratio) diperkirakan akan mengalami penurunan ke level 6% sampai 7%, dikarenakan adanya pemberian insentif fiskal hingga tahun 2023," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (18/5).
Baca Juga: Tata kelola pertambangan rakyat jadi perhatian dalam RUU Minerba
Adapun target utang di tahun ini pun meningkat menjadi Rp 1.006,4 triliun untuk membiayai pelebaran defisit anggaran yang diproyeksi mencapai 5,07% dari PDB.
Dengan demikian, sampai dengan akhir tahun outlook total utang pemerintah akan mencapai Rp 6.000 sampai Rp 6.500 triliun.
Imbasnya, beban bunga utang juga akan meningkat dan membuat defisit keseimbangan primer meningkat bukannya turun. Seiring dengan hal tersebut, menurut Bhima hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan stimulus fiskal berjalan dengan efektif.
"Jangan sampai mengulang tahun 2018 di mana total belanja pajak mencapai Rp 221 triliun tapi imbas ke perekonomian tidak signifikan. Dari sisi utang, diharapkan pemerintah tetap melakukan pengendalian bunga, sehingga beban pembayaran bunga di tahun fiskal berikutnya tidak melonjak signifikan," kata Bhima.
Untuk tahun-tahun berikutnya, Bhima mengatakan akan sulit menggiring defisit keseimbangan primer ke arah surplus apabila tidak ada strategi yang jelas dari pemerintah.
Baca Juga: Kredit melambat, begini strategi bank memutar DPK
Jadi, upaya pemerintah dalam melakukan penajaman, efisiensi, dan reformasi belanja negara untuk memperkecil defisit dirasa tidak akan berpengaruh banyak. Pasalnya, adanya stimulus yang diberikan dalam rangka pemulihan ekonomi dalam negeri, akan memperbesar belanja pemerintah.
Dengan demikian, untuk tahun depan sendiri Bhima memproyeksikan defisit keseimbangan primer akan berada pada rentang 2,5% sampai dengan 3% dari PDB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News