kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.930.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.230   -112,00   -0,69%
  • IDX 7.214   47,18   0,66%
  • KOMPAS100 1.053   7,20   0,69%
  • LQ45 817   1,53   0,19%
  • ISSI 226   1,45   0,65%
  • IDX30 427   0,84   0,20%
  • IDXHIDIV20 504   -0,63   -0,12%
  • IDX80 118   0,18   0,16%
  • IDXV30 119   -0,23   -0,19%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,20%

Upaya menjaga kesehatan BPJS Kesehatan


Kamis, 19 November 2015 / 06:55 WIB
Upaya menjaga kesehatan BPJS Kesehatan


Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Lowongan pekerjaan dengan penghasilan bulanan hingga ratusan juta rupiah tengah dibuka hingga 19 November 2015. Jenis pekerjaannya juga bonafide: direksi dan dewan pengawas di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, pengelola BPJS yang baru harus sudah terbentuk paling lambat pada 1 Januari 2016. Khusus untuk BPJS Kesehatan, kebutuhan dewan direksi mencapai 8 orang dan 7 orang untuk dewan pengawas.

Pekerjaan bergengsi dengan gaji besar seiring pula dengan tanggungjawabnya yang juga besar. Sebagai lembaga nirlaba, BPJS Kesehatan tidak menghitung soal untung-rugi. Masalahnya, sejak beroperasi hingga dalam beberapa tahun ke depan, badan ini berpotensi selalu dirundung masalah mismatch.  Ini akibat iuran yang masuk lebih kecil dari klaim yang harus dibayar oleh BPJS ke fasilitas kesehatan yang menjadi mitra.

Tahun ini, misalnya, mismatch diperkirakan mencapai Rp 5,85 triliun. Untuk menutupi kekurangan ini, pemerintah menganggarkan dana senilai Rp 5 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Sisanya bisa ditutupi dari hasil investasi yang dilakukan BPJS Kesehatan.

Menurut Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, hingga 30 September hasil investasinya mencapai Rp 2,6 triliun. “Tahun lalu surplus Rp 1 triliun,” ujarnya.

Meski ditalangi pemerintah dan ditutup dari hasil investasi BPJS, potensi mismatch ternya masih mengancam. Kalau diblejeti, ini terjadi di hampir semua golongan peserta.

Untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI), persoalan ada pada iuran yang dianggap masih kecil. Tahun depan, iuran PBI dinaikkan dari Rp 19.225 per orang per bulan menjadi Rp 23.000. Jumlah penerimanya juga ikut bertambah, dari 88,2 juta (akhir 2015) menjadi 92,4 juta pada tahun depan.

Keputusan yang termuat di APBN 2016 ini, menurut Donald Pardede, Kepala Pusat Pembiayaan & Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan jauh di bawah usulan resmi hasil koordinasi BPJS Kesehatan, DJSN, dan Kementerian Keuangan yang sebesar Rp 36.000. Dus,  karena iurannya kurang, potensi mismatch tahun depan mencapai Rp 7,4 triliun.

Pemerintah sendiri sudah pasang ancang-ancang dan mencadangkan biaya untuk menutup defisit di BPJS Kesehatan. Di APBN 2016, tersedia anggaran Cadangan Kesehatan Lainnya senilai Rp 6,8 triliun. Itu jauh lebih tinggi ketimbang APBNP 2015 yang cuma Rp 0,9 triliun. Menurut Dirjen Anggaran Kemenkeu, Askolani, dana ini memang disiapkan untuk BPJS Kesehatan.

Kalaupun ternyata masih ada potensi mismatch, pemerintah akan memutuskannya di APBNP 2016. “Nanti kita pantau kondisi BPJS sampai pengajuan APBNP 2016, apakah perlu di-support atau tidak,” ujar Askolani.


Genjot peserta sehat
Pemerintah tampaknya sengaja memberi talangan akumulasi defisit ketimbang menyesuaikan iuran di awal. Dengan begitu, BPJS Kesehatan bekerja lebih keras untuk menggenjot jumlah peserta dari golongan, terutama pekerja penerima upah (PPU) badan usaha. Cara ini, kata Donald, bisa mengimbangi peserta pekerja informal (pekerja bukan penerima upah/PBPU) yang memiliki risiko sakit lebih tinggi.

Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, bilang, masalah defisit di BPJS Kesehatan sebetulnya bisa diatasi jika jumlah peserta ditingkatkan. Salah satunya dari segmen PPU badan usaha. Berdasar data Badan Pusat Statistik, per Agustus 2015 jumlah pekerja formal ada 48,5 juta orang.

Berdasar data BPJS Kesehatan, total peserta per 11 November 2015 sekitar 154,11 juta. Sementara data terbaru PPU badan usaha, menurut Irfan, baru 21,75 juta. Angka ini bukan saja masih di bawah jumlah pekerja formal versi BPS, tapi juga masih di bawah target PPU badan usaha hingga akhir 2015 yang diharapkan bisa mencapai 39,7 juta.

Sementara tahun depan, targetnya lebih tinggi lagi. Peserta dari segmen pemberi kerja badan usaha diproyeksikan bisa mencapai 59,9 juta. Target yang tinggi ini mencerminkan harapan yang besar atas kepesertaan pekerja penerima upah. Pasalnya, selain iuran yang dibayar tergolong besar ketimbang peserta mandiri karena perhitungannya berbasis gaji, rasio klaimnya juga dibawah 100%.

Cuma, target ini jelas bukan pekerjaan mudah. Apalagi, dunia usaha masih akan menghadapi kondisi ekonomi sulit. Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Purnawarman Basundoro beberapa waktu lalu menyebut, ada 124 perusahaan skala menengah hingga besar yang belum mendaftarkan seluruh karyawannya menjadi peserta.

Ketua Bidang Jaminan Sosial Apindo, Timoer Soetanto bilang, jika ingin menggenjot kepesertaan dari badan usaha secara maksimal, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh BPJS Kesehatan. Salah satunya, premi pekerja yang masih lajang mestinya dibedakan dengan peserta yang sudah berkeluarga. Besaran iuran yang sama antara pekerja lajang dan yang sudah berkeluarga memberatkan perusahaan padat karya. Maklum, umumnya mereka mempekerjakan buruh yang masih lajang.

Ambil contoh, dengan gaji Rp 3 juta per bulan, iuran bulanan yang mesti dibayar Rp 150.000. “Teorinya iurannya bisa untuk lima orang. Padahal pekerja itu masih sendiri. Ini membuat beban kesehatan yang ditanggung perusahaan tiga kali lebih mahal dari biasanya,” katanya.

Namun Irfan menilai, kondisi ekonomi sulit mestinya menjadi momentum bagi perusahaan untuk memanfaatkan BPJS Kesehatan. “Manfaat lebih banyak dan iuran lebih kecil dibanding asuransi komersial. Justru efesien buat perusahaan,” ujarnya.


Pangkas grace period
Persoalan besar berikutnya yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan adalah tingginya rasio klaim peserta dari segmen pekerja informal (pekerja bukan penerima upah/PBPU). Pada 2014, rasio klaim peserta golongan ini mencapai 617,4%. Sementara rasio klaim peserta non PBPU 79,9%.

Agar rasio klaim PBPU lebih terkendali dan relatif bebas moral hazard, BPJS Kesehatan telah melakukan sejumlah terobosan. Sebelumnya, peserta baru bisa memanfaatkan layanan kesehatan 7 hari setelah terdaftar. Sejak 1 Juni 2015, waktu tunggu dari pendaftaran hingga kartu peserta BPJS terbit menjadi 14 hari. Selain itu, juga ada keharusan bagi peserta golongan PBPU untuk mengikutkan seluruh keluarganya sebagai peserta.

Perubahan ketentuan lainnya akan termuat dalam revisi PP No. 111 Tahun 2013. Selain menetapkan iuran PBI sebesar
Rp 23.000, beleid ini juga akan mengatur soal masa tenggang atau grace period. Selama ini, peserta mandiri yang tidak membayar iuran selama 6 bulan, masih bisa mendapat layanan kesehatan BPJS. Sementara pekerja penerima upah, 3 bulan menunggak iuran masih bisa mendapat pelayanan. “Ini diakomodir kemungkinan diubah tidak sampai 6 bulan, tapi jadi satu bulan. Sebulan menunggak, dia nggak berhak mendapat layanan,” kata Irfan.

Selama ini, hal tersebut ternyata menyumbang mismatch yang lumayan besar. Pasalnya, banyak peserta mandiri yang mendaftar ketika dia sudah divonis sakit dan harus mendapat perawatan kesehatan. Sayangnya, setelah sembuh, iuran tak lagi dibayarkan. “Ada 4,8 juta peserta mandiri yang dalam 3 bulan–6 bulan tidak membayar iuran lagi,” imbuh Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Rachmat Sentika.

Menurut Irfan, meskipun tidak memanfaatkan layanan kesehatan, jika peserta tidak rutin membayar iuran, BPJS tetap harus mengeluarkan biaya. Ilustrasinya, peserta mandiri membayar iuran bulanan Rp 25.500 dan terdaftar di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang ia pilih sebelumnya.

Oleh BPJS, FKTP tersebut, misalnya puskesmas, mendapat biaya kapitasi di muka antara Rp 3.000–Rp 6.000 per peserta tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Artinya, jika 6 bulan menunggak, BPJS tetap harus membayar kapitasi Rp 18.000–Rp 36.000 per orang.

Nah, kalau semua tak diantisipasi sejak awal, rasio klaim yang tinggi di segmen peserta mandiri bisa membuat BPJS Kesehatan terus-terusan mengalami mismatch. Apalagi jumlah peserta BPJS Kesehatan memang semakin banyak. Tahun ini targetnya jumlah peserta mandiri bisa mencapai 14,6 juta. Data teranyar di BPJS Kesehatan, angkanya sudah mencapai 14,2 juta.

Maka, semoga enggak terus-terusan tekor, ya!    

Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 08-XX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Digital Marketing for Business Growth 2025 : Menguasai AI dan Automation dalam Digital Marketing

[X]
×