Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah diperkirakan harus menerbitkan surat berharga negara (SBN) dengan nilai jumbo untuk menutupi defisit anggaran yang direncanakan sebesar Rp 616,18 triliun atau 2,53% dari produk domestik bruto (PDB), dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan, berdasarkan hasil hitungannya, dibutuhkan dana sekitar Rp 1.260,6 triliun penerbitan SBN bruto untuk menutupi defisit yang ditargetkan dalam RAPBN 2025.
Untuk diketahui, penerbitan SBN bruto merupakan penerbitan SBN ditambah utang jatuh tempo. Artinya bila penerbitan SBN bruto diperkirakan Rp 1.260,6 triliun, maka jatuh tempo SBN 2025 diperkirakan mencapai Rp 644,42 triliun.
Baca Juga: Penerbitan SBN di 2025 Direncanakan Naik 42,2% Jadi Rp 642,56 Triliun
“Meskipun pasokan SBN tahun 2025 diperkirakan akan meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tahun 2024, kami masih mengantisipasi penurunan imbal hasil SBN di tahun mendatang,” tutur Josua kepada Kontan, Selasa (20/8).
Adapun dalam RAPBN 2025 pemerintah berencana menerbitkan utang baru melalui surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 642,56 triliun. Penerbitan SBN tersebut naik 42,2% jika dibandingkan dengan outlook APBN tahun 2024 sebesar Rp 451,85 triliun.
Adapun Josua menyampaikan, selama periode pandemic Covid-19 lalu, defisit APBN melebar dan dibiayai oleh penerbitan SBN secara besar-besaran, dengan obligasi yang akan jatuh tempo antara tahun 2024-2026. Ia menilai, tren obligasi yang jatuh tempo akan terus berlanjut hingga setidaknya tahun 2026.
Perkiraan penerbitan SBN bruto tersebut, lanjutnya, mengasumsikan bahwa tahun 2025 akan terjadi aliran masuk modal asing ke pasar SBN, didorong oleh sentimen risk-on yang muncul di tengah penurunan suku bunga kebijakan global, terutama penurunan Fed Funds Rate (FFR) oleh The Fed.
Baca Juga: Jokowi: Yield SBN 10 Tahun Naik Jadi 7,1% dalam RAPBN 2025
“Perkembangan ini dapat meningkatkan risk appetite investor, sehingga meningkatkan permintaan terhadap aset keuangan di negara berkembang, termasuk Indonesia,” ungkapnya.
Dengan perkembangan tersebut, Josua memperkirakan ada kemungkinan Bank Indonesia untuk menurunkan BI-rate lebih lanjut sebesar 75 basis poin (bps) di 2025, melanjutkan ekspektasi penurunan suku bunga acuan BI sebesar 50 bps di pada semester II 2024. Sehingga berpotensi menurunkan imbal hasil SBN lebih lanjut.
Lebih lanjut, Josua menyampaikan, sejalan dengan meningkatnya permintaan investor asing terhadap SBN, prospek ekonomi Indonesia yang baik, dan potensi penurunan BI-rate, maka akan memitigasi dampak peningkatan penerbitan SBN terhadap imbal hasil.
“Hal ini juga akan berkontribusi pada tren apresiasi rupiah di tahun 2025. Selain itu, jika terjadi kondisi ekonomi atau pasar yang kurang baik, kami berharap pemerintah dapat menjaga stabilitas melalui penggunaan SAL (Saldo Anggaran Lebih),” terangnya.
Baca Juga: BI Catat Aliran Modal Asing Masuk Rp 9,67 Triliun Dalam Sepekan Terakhir
Dengan mempertimbangkan kondisi pasar SBN di tahun 2025, Josua memperkirakan imbal hasil SBN tenor 10 tahun akan berkisar antara 6,10% hingga 6,40%, menurun dari proyeksinya di tahun 2024 yang sebesar 6,50% - 6,70%.
Ia juga memperkirakan nilai tukar rupiah akan terapresiasi menjadi antara Rp 14.900- Rp15.300 per dollar AS di akhir tahun 2025, dibandingkan dengan perkiraan kami di kisaran Rp15.500 - Rp15.900 per dollar AS di akhir tahun 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News