Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menimbulkan gejolak perekonomian dunia, atau sering diistilahkan Trump Tantrum. Julukan ini merujuk ke Taper Tantrum pada Mei 2013, saat Ben Bernanke, Gubernur The Fed, menjalankan program quantitative easing.
Episentrum perekonomian dunia masih berada di Amerika Serikat (AS). Pasca kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS, mata dunia masih mencari arah kebijakan AS dengan harap-harap cemas. Sebab, Trump dalam kampanyenya kerap melempar retorika dan kebijakan kontroversi.
Salah satunya adalah terkait kebijakan fiskal yang akan dilakukannya ke depan. Kecemasan ini yang dirasakan ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014, M. Chatib Basri.
Menurutnya, jika Trump benar-benar melaksanakan retorika kebijakannya selama kampanye dengan mendorong sisi fiskal agar pertumbuhan ekonomi naik, maka defisit anggaran pemerintah AS akan melebar.
Seperti diketahui, Presiden AS terpilih asal Partai Republik itu rencananya akan menambah anggaran infrastruktur hingga US$ 30 triliun dalam 10 tahun ke depan. Kebijakan itu akan dikombinasikan dengan peningkatan gaji pegawai di AS menjadi US$ 10 per jam.
Di sisi lain, Trump juga berkoar akan memangkas tarif pajak untuk korporasi dari 35% menjadi 15%. “Jika kebijakan itu dilakukan maka defisit fiskal AS akan melebar. Oleh karena itu, AS harus membiayai defisitnya dengan menerbitkan surat utang yang lebih tinggi,” kata Chatib, belum lama ini.
Namun Chatib yakin, Trump bisa berpikir realistis dengan tidak memaksakan kebijakan agresif. “Sebagai pengusaha, Trump tahu pasti konsekuensi jika defisit melebar dan yield obligasi naik,” katanya.
Sebab jika itu terjadi maka Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) terpaksa menaikkan suku bunga acuan. Menurut perhitungan Chatib, ruang yang tersedia bagi The Fed menaikkan suku bunga tahun depan sebesar 50 basis point. The Fed bisa menaikkan suku bunga sekaligus atau bertahap.
Harus diwaspadai jika kebijakan ekspansif Trump akan memaksa The Fed menaikkan suku bunga lebih dari perkiraan.
Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sepertinya juga memiliki kekhawatiran sama. Hal itu tersirat dari perkataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, akhir November 2016 lalu yang menyatakan kondisi ekonomi memang sedang tidak normal. Hal itu ditandai peningkatan ketidakpastian ekonomi global sebagai dampak kemenangan Trump.
Kondisi itu telah membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS, seiring adanya arus modal keluar alias capital outflow. Darmin khawatir capital outflow masih terjadi, bahkan bisa lebih tinggi lagi sehingga akan berpengaruh terhadap kondisi likuiditas domestik.
BI juga masih menunggu kejelasan dari AS. "Kami masih menganalisis arah ekonomi AS pasca Trump terpilih," ujar Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara.
Dua hal akan dilihat BI, yaitu kepastian rencana kebijakan Trump sebagai Presiden pada Januari 2017, dan respon The Fed, apakah menaikkan kembali suku bunganya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News